Motto

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ* القران سورة آل عمران ١٠٤
“Dan jadilah kamu sekalian bagian dari umat yang menyerukan kebajikan dan mengajak yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung [Quran Surat Ali Imron, ayat 104]

News

Rabu, 02 Februari 2011

Imam Al-Ghazali Pengikut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (bagian 3)

Orang bodoh celaka karena tidak mau mencari ilmu agama, orang alim celaka 100 kali karena tidak mau mengamalkan ilmunya.

Kembali pada ulasan Imam Al-Ghazali mengenai mencari ilmu:
أَماَّ بَعْدُ: فَاعْلَمْ أَيُّهاَ الْحَرِيْصُ اْلمُقْبِلُ عَلَى اقْتِباَسِ الْعِلْمِ، اْلمُظْهِرُ مِنْ نَفْسِهِ صِدْقَ الرُّغْبَةِ، وَفَرْطَ التَّعَطُّشِ إِلَيْهِ أَنَّكَ إِنْ كُنْتَ تَقْصُدُ بِالْعِلْمِ اْلمُناَفِسَةَ، وَاْلمُبَاهاَةَ، وَالتَّقَدُّمَ عَلَى اْلأَقْراَنِ، وَاسْتِماَلَةَ وُجُوْهِ الناَّسِ إِلَيْكَ، وَجَمْعَ حُطَامِ الدُّنْياَ؛ فَأَنْتَ ساَعٍ فِي هَدْمِ دِيْنِكَ، وَإِهْلاَكِ نَفْسِكَ، وَبَيْعِ آخِرَتِكَ بِدُنْياَكَ؛ فَصَفْقَتُكَ خاَسِرَةٌ، وَتِجاَرَتُكَ باَئِرَةٌ، وَمُعَلِّمُكَ مُعِيْنٌ لَكَ عَلَى عِصْياَنِكَ، وَشَرِيْكٌ لَكَ فِي خُسْراَنِكَ، وَهُوَ كَباَئِعِ سَيْفٍ لِقاَطِعِ طَرِيْقٍ، كَماَ قاَلَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: (مَنْ أَعاَنَ عَلَى مَعْصِيَةٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ كاَنَ شَرِيْكاً فِيْهاَ).وَإِنْ كاََنَتْ نِيَّتُكَ َوَقَصْدَُْكَِ، بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللهِ تَعاَلَى، مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ: اْلهِداَيَةَ دُوْنَ مُجَرَّدِ الرِّواَيَةِ؛ فَأَبْشِرْ؛ فَإِنَّ اْلمَلاَئِكَةَ تَبْسُطُ لَكَ أَجْنِحَتَهاَ إِذاَ مَشَيْتَ، وَحِيْتاَنُ الْبَحْرِ تَسْتَغْفِرُ لَكَ إِذاَ سَعَيْتَ. وَلَكِنْ يَنْبَغِيْ لَكَ أَنْ تَعَلَّمَ، قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ، أَنَّ اْلهِداَيَةَ الَّتِيْ هِيَ ثَمْرَةُ الْعِلْمِ لَهاَ بِداَيَةٌ وَنِهاَيَةٌ، وَظاَهِرٌ وَباَطِنٌ، وَلاَ وُصُوْلَ إِلَى نِهاَيَتِهاَ إِلاَّ بَعْدَ إِحْكاَمِ بِداَيَتِهاَ، وَلاَ عُثُوْرَ عَلَى باَطِنِهاَ إِلاَّ بَعْدَ الْوُقُوْفِ عَلَى ظاَهِرِهاَ
Adapun setelah itu, ketahuilah hai khususnya orang yang bertekad bulat mencari ilmu, yang menampakkan keseriusan rasa senang dari lubuk hati dalam urusan mencari ilmu, dan tak mau kehausan ilmu. Sungguh jika maksudmu mencari ilmu untuk mencari:
  • kemuliaan dan kehebatan,
  • menonjol mengalahkan teman-teman sebaya,
  • agar wajah-wajah manusia berpaling ke arah wajahmu,
  • untuk mengumpulkan rumput-rumput kering dunia,
berarti kau telah berusaha merobohkan agamamu dan merusakkan dirimu dan menjual akhiratmu dengan duniamu. Itu berarti negosiasimu rugi, perdaganganmu bangkrut. Ilmumu justru akan mempermudahkanmu menuju kemaksiat-anmu, dan menjadi temanmu di dalam kerugianmu. Yakni bagaikan orang yang menjual pedang pada perampok jalanan. Sebagaimana Rasul Allah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ telah bersabda "Barang siapa menolong sebuah ke-maksiatan walaupun dengan setengah kalimat, maka berarti dia telah nyata bergabung di dalamnya."

Namun jika niat dan tujuanmu dalam mencari ilmu antara kau dan Allah agar men-dapatkan hidayah, bukan sekedar ingin punya kemampuan mengupas riwayat, ber-senanglah!, karena para malaikat membentangkan sayapnya di waktu kau berjalan. Dan ikan-ikan lautan memintakan ampunan untukmu ketika kau bergegas. Tetapi seyogyanya kau mengetahui sebelum segala sesuatu, bahwa sungguh hidayah yang merupakan buahnya ilmu ini memiliki:
  • pangkal dan puncak,
  • lahiriyah dan batiniyah (rahasia). Tak mungkin sampai ke puncaknya keculi setelah berusaha memanjat melalui pangkalnya. Dan tak mungkin mampu menyingkapkan rahasianya kecuali setelah merenungi lahiriyah-nya.

Al-Ghazali memang ahli filsafat dan ahli Hadits, uraiannya enak dicerna. Walau begitu ada ucapan Al-Ghazali yang disalahkan oleh Imam Sayuthi. Yaitu ketika dia membahas sabda Nabi:
إِنَّ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ إِذَا بَدَا لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقه خَشَعَ لَهُ ) قَالَ أَبُو حَامِد الْغَزَالِيّ هَذِهِ الزِّيَادَة غَيْر صَحِيحَة نَقْلًا فَيَجِبُ تَكْذِيب نَاقِلهَا وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَنَّ قَوْل الْفَلَاسِفَة فِي بَاب الْخُسُوف وَالْكُسُوف حَقّ لِمَا قَامَ عَلَيْهِ مِنْ الْبَرَاهِين الْقَطْعِيّ
Sungguh ketika Allah telah menampakkan diri pada sesuatu dari makhluk-Nya, maka makhluk tersebut menunduk). Abu Hamid Al-Ghazali berkata “Tambahan ini tidak shahih secara nakli sehingga diwajibkan men-dustakan pembawa dalil nakli (kemangkulan tersebut).

"Dia berkeyakinan demikian karena ucapan para ahli filsafat mengenai gerhana adalah benar, karena ada dalil-dalil yang nyata sebagai bukti kebenarannya. Imam Sayuthi melanjutkan uraiannya mengenai kekeliruan ucapan Al-Ghazali
الَ السُّبْكِيّ قَوْل الْفَلَاسِفَة صَحِيح كَمَا قَالَ الْغَزَالِيّ لَكِنَّ إِنْكَار الْغَزَالِيّ هَذِهِ الزِّيَادَة غَيْر جَيِّد فَإِنَّهُ مَرْوِيّ فِي النَّسَائِيِّ وَغَيْره وَتَأْوِيله ظَاهِر فَأَيُّ بُعْدٍ فِي أَنَّ الْعَالِم بِالْجُزْئِيَّاتِ وَمُقَدِّر الْكَائِنَات سُبْحَانه يُقَدِّر فِي أَزَل الْأَزَل خُسُوفهمَا بِتَوَسُّطِ الْأَرْض بَيْن الْقَمَر وَالشَّمْس وَوُقُوف جُرْم الْقَمَر بَيْن النَّاظِر وَالشَّمْس وَيَكُون ذَلِكَ وَقْت تَجَلِّيه سُبْحَانه وَتَعَالَى عَلَيْهِمَا فَالتَّجَلِّي سَبَب لِكُسُوفِهِمَا قَضَتْ الْعَادَة بِأَنَّهُ يُقَارِن تَوَسُّط الْأَرْض وَوُقُوف جُرْم الْقَمَر لَا مَانِع مِنْ ذَلِكَ وَلَا يَنْبَغِي مُنَازَعَة الْفَلَاسِفَة فِيمَا قَالُوا إِذَا دَلَّتْ عَلَيْهِ بَرَاهِين قَطْعِيَّة
As-Subki berkata ‘ucapan para ahli filsafat shahih sebagaimana ucapan Al-Ghazali. Tetapi keingkaran Al-Ghazali terhadap tambahan ini riwayat tidaklah baik. Karena tambahan tersebut diriwayatkan di dalam Hadits Nasa’i dan lainnya, dan takwil-nya pun jelas sekali. Lalu sampai di manakah jauhnya ilmu seorang alim yang menguasai beberapa bagian ilmu dan memperkirakan beberapa keadaan Yang Maha Suci? Yang sedang dan akan memperkirakan segala yang azal azali. Ger-hananya keduanya karena menengahnya bumi pada titik garis antara bulan dan matahari. Dan karena bertempatnya fisik bulan di antara orang yang mengamati dan matahari. Dan demikian itulah waktu menampaknya Allah سُبْحَانه وَتَعَالَى pada keduanya. Maka menampak-Nya adalah sebagai penyebab gerhananya keduanya. Sudah menjadi adat kebiasaan yang berlaku bahwa menengahnya bumi dan ber-tempatnya fisik bulan pada posisi tersebut, mutlak tidak ada yang mampu meng-halang-halangi demikian itu. Dan tidaklah pantas bagi ahli filsafat mengutara-kan pernyataan tersebut, apabila ada dalil nyata yang menunjukkannya secara tegas(1).

Imam Ghazali melanjutkan ulasannya:
وَهَأَناَ مُشِيْرٌ عَلَيْكَ بِبِداَيَةِ الْهِداَيَةِ؛ لِتثجَرِّبَ بِهاَ نَفْسَكَ، وَتَمْتَحِنَ بِهاَ قَلْبَكَ، فَإِنْ صاَدَفْتَ قَلْبَكَ إِلَيْهاَ ماَئِلاً، وَنَفْسُكَ بِهاَ مُطاَوِعَةٌ، وَلَهاَ قاَبِلَةٌ؛ فَدُوْنَكَ التَّطَلُّعُ إِلَى النِّهاَياَتِ وَالتَّغَلْغلِ فِي بِحاَرِ الْعُلُوْمِ
Dan hai, inilah saya yang akan menjelaskanmu mengenai Bidayatil-Hidayah. Agar kau mencoba dengan dirimu dan menguji hatimu sendiri. Jika kau jumpai hatimu condong padanya dan dirimu bisa menerimanya dengan senang, silahkan kau cer-mati hasilnya dan masuklah ke dalam lautan-lautan ilmu tersebut.

Lautan ilmu adalah Al-Qur’an. Allah berfirman:
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakan ‘kalau lautan telah menjadi tinta bagi kalimat Tuhanku, niscaya lautan tersebut telah habis sebelum kalimat Tuhanku habis. Walaupun kami datangkan semisal itu tintanya’.
[Qs Al-Kahfi 109].

Imam Tirmidzi menulis pernyataan Sayyidinaa Ali dari Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ di dalam Sunannya juz 11 halaman 93 mengenai keluasan ilmu Al-Qur’an:
أَمَا إِنِّى قَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ - يَقُولُ « أَلاَ إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ ». فَقُلْتُ مَا الْمَخْرَجُ مِنْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ نَبَأُ مَا كَانَ قَبْلَكُمْ وَخَبَرُ مَا بَعْدَكُمْ وَحُكْمُ مَا بَيْنَكُمْ هُوَ الْفَصْلُ لَيْسَ بِالْهَزْلِ مَنْ تَرَكَهُ مِنْ جَبَّارٍ قَصَمَهُ اللَّهُ وَمَنِ ابْتَغَى الْهُدَى فِى غَيْرِهِ أَضَلَّهُ اللَّهُ وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَهُوَ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ هُوَ الَّذِى لاَ تَزِيغُ بِهِ الأَهْوَاءُ وَلاَ تَلْتَبِسُ بِهِ الأَلْسِنَةُ وَلاَ يَشْبَعُ مِنْهُ الْعُلَمَاءُ وَلاَ يَخْلَقُ عَلَى كَثْرَةِ الرَّدِّ وَلاَ تَنْقَضِى عَجَائِبُهُ هُوَ الَّذِى لَمْ تَنْتَهِ الْجِنُّ إِذْ سَمِعَتْهُ حَتَّى قَالُوا (إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِى إِلَى الرُّشْدِ) مَنْ قَالَ بِهِ صَدَقَ وَمَنْ عَمِلَ بِهِ أُجِرَ وَمَنْ حَكَمَ بِهِ عَدَلَ وَمَنْ دَعَا إِلَيْهِ هُدِىَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ »
Ingat, sungguh saya pernah mendengar Rasulallah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ bersabda “Sungguh akan ada fitnah.” Tak lama kemudian saya berkata “Berbentuk apakah jalan keluar darinya ya Rasulallah?.” Beliau ber-sabda “Kitab Allah, di dalamnya ada:
  1. Cerita apa yang telah ada sebelum kalian.
  2. Khabar apa setelah kalian.
  3. Hukum antara kalian.
Dialah penjelasan yang bukan main-main. Barang siapa meninggalkannya karena sombong maka Allah mematahkannya. Barang siapa mencari petunjuk pada selain dia (Quran), Allah menyesatkannya. Dia tali Allah yang sangat kuat. Dia peringatan yang bijaksana. Dia jalan yang lurus. Dia yang membuat ha-wa nafsu takkan berbelok, dan takkan tercampur oleh bahasa makhluq. Dan ulama yang meneguknya takkan kenyang. Dan takkan rusak karena sering diulang-ulang. Dan kejaiban-keajaibannya takkan berakhir. Dia-lah yang ketika didengar oleh jin maka mereka tak henti-hentinya merenungi hingga akhirnya berkata:
‘إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِى إِلَى الرُّشْدِ
Sungguh kami telah mendengarkan Al-Qur’an menakjubkan yang menunjukkan pada ke-benaran’. Barang siapa berkata berdasarkan dia (Quran) maka telah benar. Barang siapa mengamalkannya maka diberi pahala. Barang siapa meng-hukumi berdasarkan dia (Quran) maka adil. Barang siapa mengajak menuju dia maka diberi bimbingan ke jalan yang sangat lurus.”

Meskipun Imam Tirmidzi menjelaskan nilai Hadits tersebut
هَذَا حَدِيثٌ لاَ نَعْرِفُهُ إِلاَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَإِسْنَادُهُ مَجْهُولٌ. وَفِى الْحَارِثِ مَقَالٌ
Ini Hadits tidak kami ketahui kecuali hanya dari ini arah. Dan isnad-nya pun majhul, maksudnya ada seorang perowi yang tak dikenali para ahli Hadits. Dan perowi yang bernama Harits mendapat komentar tidak baik.”
Namun di dalam Syifa’ul-Ghilal Imam Tirmidzi berkata:
جَمِيعُ مَا فِى هَذَا الْكِتَابِ مِنَ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ وَقَدْ أَخَذَ بِهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلاَ حَدِيثَيْنِ
Semua Hadits yang berada di dalam ini kitab (Sunan Tirmidzi) adalah ma’mul, maksudnya bisa diamalkan. Dan sungguh sebagian ahli ilmu telah berpedoman dengannya, keculi dua Hadits:
  1. حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ وَلاَ مَطَرٍ
    Hadits Ibnu Abbas ‘sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah menjamak antara dluhur dan ashar, maghrib dan isyak di Madinah bukan karena khauf (takut) musuh maupun karena pergi jauh ataupun karena hujan’.
  2. حَدِيثُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِى الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ
    Hadits Nabi صلى الله عليه وسلم ‘sesungguhnya Nabi bersabda ketika dia minum arak maka deralah dia, jika mengulangi yang keempat kali maka bunuhlah!’.

Yang membuat banyak orang terperangah dan terpesona karena Imam Ghazali sering kali membahas mengenai hati atau niat:
وَإِنْ صاَدَفْتَ قَلْبَكَ عِنْدَ مُواَجِهَتِكَ إِياَّهاَ بِهاَ مَسُوْفاً، وَبِالْعَمَلِ بِمُقْتَضاَهاَ مُماَطِلاً؛ فَاعْلَمْ أَنَّ نَفْسَكَ الْماَئِلَةُ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ هِيَ النَّفْسُ اْلأَماَّرَةُ بِالسُّوْءِ، وَقَدِ انْتَهَضَتْ مُطِيْعَةً لِلشَّيْطاَنِ اللَّعِيْنِ لِيُدْلِيَكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ؛ فَيَسْتَدْرِجُكَ بِمَكِيْدَتِهِ إِلَى غَمْرَةِ الْهَلاَكِ، وَقَصْدِهِ أَنْ يَرُوْجَ عَلَيْكَ الشَّرَّ فِي مَعْرِضِ الْخَيْرِ حَتَّى يُلْحِقَكَ (بِاْلأخسَرِيْنَ أَعْماَلاً، الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا). وَعِنْدَ ذَلِكَ يَتْلُوْ عَلَيْكَ الشَّيْطاَنُ فَضْلَ الْعِلْمِ وَدَرَجَةَ الْعُلَماَءِ، وَماَ وَرَدَ فِيْهِ مِنَ اْلأَخْباَرِ وَاْلآثاَرِ. وَيُلْهِيكَ عَنْ قَوْلِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: (مَنِ ازْداَدَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً)، وَعَنْ قَوْلِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: (أَشَدُّ الناَّسِ عَذاَباً يَوْمَ الْقِياَمَةِ عاَلِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ) وَكاَنَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ: (اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ ، وَقَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَعَمَلٍ لاَ يُرْفَعُ، وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ)
Dan jika kau dapati hatimu di saat kau serius mengaji tiba-tiba saja susah atau kosong, dan untuk mengamalkannya terasa berat, maka ketahuilah bahwa jiwamu yang telah condong pada mencari ilmu adalah nafsu yang akan mendorong pada kejelekan, dan mentaati Syaitan laknat yang akan menurunkanmu dengan tali tipuannya. Akhirnya ia akan menjebakmu dengan usahanya ke arah sumber kerusakan. Dan akan mengaburkanmu dengan kejelekan yang disusupkan pada kebaikan, hingga akhirnya ia akan menyusulkanmu pada go-longan orang-orang yang lebih rugi amalannya. Yaitu orang-orang yang usaha mere-ka di dalam kehidupan dunia tersesat, namun mereka menyangka bahwa sungguh me-reka memperbaiki kelakuan. Saat itu pula Syaitan membacakan padamu mengenai keutamaan ilmu dan derajat ulama, dan berita maupun Hadits apa saja yang mem-bahas mengenai itu. Selain itu Syaitan juga akan membuatmu melupakan sabda Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ:
• ” مَنِ ازْداَدَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً
Barang siapa ilmunya bertambah namun hidayahnya tidak bertambah, maka takkan menambahi dia kecuali jauhnya dari Allah.”
[Kanzul-‘Ummal juz 10 halaman 193].
• “أَشَدُّ الناَّسِ عَذاَباً يَوْمَ الْقِياَمَةِ عاَلِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
Lebih sangatnya siksaan di hari kiamat orang alim yang Allah tak memberi manfaat dia melalui ilmunya.”
[Kanzul-‘Ummal juz 10 halaman 208].

Konon Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ pernah berdoa
“اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ ، وَقَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَعَمَلٍ لاَ يُرْفَعُ وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ
Ya Allah, sungguh saya berlindung pada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat, dan hati yang tak khusuk, dan amalan yang tidak diangkat, dan doa yang tak didengar.” Kata Imam Ghazali “Ada lagi yang kalian akan dibuat lupa oleh Syaitan: sabda Nabi:
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِي بِأَقْواَمٍ تُقْرَضُ شَفاَهُهُمْ ِبمَقاَرِضَ مِنْ ناَرٍ، فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قاَلُوْا: كُناَّ نَأْمُرُ بِالْخَيْرِ وَلاَ نَأْتِيْهِ وَنَنْهَى عَنِ الشَّرِّ وَنَأْتِيْهِ
Di malam saya diisra’kan saya bertemu kaum yang bibir mereka dipotong dengan gunting dari api. Sontak saya bertanya ‘siapakah kalian?’. Mereka menjawab ‘kami dulu perintah pada kebajikan namun kami tidak menjalani-nya. Dan mencegah kemungkaran, namun kami justru menjalaninya’.”
Pesan Ghazali:
فَإِياَّكَ ياَ مِسْكِيْن أَنْ تُذْعِنَ لِتَزْوِيْرِهِ فَيُدْلِيْكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ، فَوَيْلٌ للْجاَهِلِ حَيْثُ لَمْ يَتَعَلَّمْ مَرَّةٌ واَحِدَةٌ، وَوَيْلٌ لِلْعاَلِمِ حَيْثُ لَمْ يَعْمَلْ بِماَ عَلِمَ أَلْفُ مَرَّة
Hindarilah olehmu hai orang miskin, merendah dan mendatangi Syaitan!. Karena dia akan menjatuhkanmu dengan tali tipuannya. Celakanya orang bodoh hanya sekali yaitu karena tidak mau belajar; sedangkan ce-lakanya orang alim seratus kali karena tidak mengamalkan ilmunya (2).”

Ucapan Imam Ghzali pantas diperhatikan
وَاعْلَمْ أَنَّ الناَّسَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْواَلٍ: رَجُلٍ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيَتَّخِذَهُ زاَدَهُ إِلَى الْمَعاَدِ، وَلَمْ يَقْصُدْ بِهِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ وَالداَّرَ اْلآخِرَةِ؛ فَهَذاَ مِنَ الْفاَئِزِيْنَ وَرَجُلٍ طَلَبَهُ لِيَسْتَعِيْنَ بِهِ عَلَى حَياَتَهُ الْعاَجِلَةَ، وَيَناَلُ بِهِ الْعِزَّ وَالْجاَهَ وَالْماَلَ، وَهُوَ عاَلِمٌ بِذَلِكَ، مُسْتَشْعِرٌ فِي قَلْبِ رِكاَكِهِ حاَلِهِ وَخِسَّةِ مَقْصَدِهِ، فَهَذاَ مِنَ الْمُخاَطِرِيْنَ. فَإِنْ عاَجَلَهُ أَجَلُهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ خِيْفَ عَلَيْهِ مِنْ سُوْءِ الْخاَتِمَةِ، وَبَقِيَ أَمْرُهُ فِي خَطْرِ المَشِيْئَةِ؛ وَإِنْ وَفَقَ لِلتَّوْبَةِ قَبْلَ حُلُوْلِ اْلأَجَلِ، وَأَضاَفَ إِلَى الْعِلْمِ الْعَمَلَ، وَتَداَرَكَ مَا فَرَطَ مِنْهُ مِنَ الخَلَلِ - الْتَحَقَ بِالْفاَئِزِيْنَ، فَإِنَّ التاَّئِبَ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ وَرَجُلٍ ثاَلِثٍ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِ الشَّيْطاَنُ؛ فَاتَّخَذَ عِلْمَهُ ذَرِيْعَةً إِلَى التَّكاَثُرِ بِالْماَلِ، وَالتَّفاَخُرِ بِالْجاَهِ، وَالتَّعَزُّزِ بِكَثْرَةِ اْلأَتْباَعِ، يُدْخِلُ بِعِلْمِهِ كُلَّ مَدْخَلٍ رَجاَءَ أَنْ يَقْضِي مِنَ الدُّنْياَ وَطَرَهُ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ يُضْمِرُ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ عِنْدَ اللهِ بِمَكاَنَةٍ، ِلاتِّساَمِهِ بِسِمَةِ الْعُلَماَءِ، وَتَرَسُّمِهِ بِرُسُوْمِهِمْ فِي الزَّىِّ وَالْمَنْطِقِ، مَعَ تَكاَلِبِهِ عَلَى الدُّنْياَ ظاَهِراً وَباَطِناً. فَهَذاَ مِنَ الْهاَلِكِيْنَ، وَمِنَ الحَمْقى الْمَغْرُوْرِيْنَ؛ إِذِ الرَّجاَءُ مُنْقَطِعٌ عَنْ تَوْبَتِهِ لِظَنِّهِ أَنَّهُ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ، وَهُوَ غاَفِلٌ عَنْ قَوْلِهِ تَعاَلَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ وَهُوَ مِمَّنْ قاَلَ فِيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ: (أَناَ مِنْ غَيْرِ الدَّجاَّلِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجاَّلِ) فَقِيْلَ: وَماَ هُوَ ياَرَسُوْلَ اللهِ؟، فَقاَلَ: (عُلَماَءُ السُّوْءِ). وَهَذاَ ِلأَنَّ الدَّجاَّلَ غاَيَتُهُ اْلإِضْلاَلُ، وَمِثْلُ هَذاَ الْعاَلِمِ وَإِنْ صَرَفَ الناَّسَ عَنِ الدُّنْياَ بِلِساَنِهِ وَمَقاَلِهِ فَهُوَ داَفِعٌ لَهُمْ إِلَيْهاَ بِأَعْماَلِهِ وَأَحْواَلِهِ، وَلِساَنُ الْحاَلِ أَفْصَحُ مِنْ لِساَنِ اْلمَقاَلِ، وَطِبَاعُ النَّاسِ إِلَى المُساَعِدِي فِي اْلأَعْماَلِ أَمْيَلُ مِنْهاَ إِلَى اْلمُتاَبِعَةِ فِي اْلأَقْواَلِ؛ فَماَ أَفْسَدَهُ هَذاَ المَغْرُوْرُ بِأَعْماَلِهِ أَكْثَرُ مِماَّ أَصْلَحَهُ بِأَقْواَلِهِ، إِذْ لاَ يَسْتَجْرِىءُ الْجاَهِلُ عَلَى الرَّغْبَةِ فِي الدُّنْياَ إِلاَّ بِاسْتِجْراَءِ الْعُلَماَءِ، فَقَدْ صاَرَ عِلْمُهُ سَبَباً لِجُرْأَةِ عِباَدِ اللهِ عَلَى مَعاَصِيْهِ، وَنَفْسُهُ الْجاَهِلَةُ مُذِلَّة مَعَ ذَلِكَ تَمَنِّيْهِ وَتَرَجِّيْهِ، وَتَدْعُوْهُ إِلَى أَنْ يَمُنَّ عَلَى اللهِ بِعِلْمِهِ، وَتُخَيَّلُ إِلَيْهِ نَفْسُهُ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنْ عِباَدِ اللهِ
Ketahuilah bahwa sungguh manusia yang mencari ilmu terbagi tiga:
  1. Orang mencari ilmu untuk berbekal pada tempat kembali, dan maksud tuju-annya hanya perhatian Allah dan kampung akhirat. Yang ini tergolong orang-orang beruntung.
  2. Mencari ilmu untuk mendapatkan kemudahan kehidupan kontan (dunia), meraih kejayaan, kedudukan dan harta kekayaan, namun dia tahu mengenai hal itu, sadar bahwa hal tersebut keliru dan maksud tujuannya adalah hina, maka dia tergolong orang yang belum jelas kedudukannya. Jika ajal kemati-annya segera hadir untuk mengakhiri hidupnya sebelum melakukan taubat, dikhawatirkan ia su’ul-khatimah (jelek akhir hidupnya). Hidup dia pun ter-gantung pada arah kehendaknya. Namun jika dia mendapat taufiq hingga mau bertaubat sebelum kedatangan ajal kematian, dan dia menyatukan ilmu dan amalan, dan membenahi kesalahan secara cermat, maka dia disusulkan pada golongan orang-orang beruntung, karena orang yang bertaubat dari dosa ba-gaikan orang yang tidak berdosa.
  3. Mencari ilmu karena didorong Syaitan. Dia mencari ilmu untuk memper-mudahkan memperbanyak harta kekayaan dan agar bisa membanggakan kedudukan, dan bisa mendapat kemuliaan karena bisa mengumpulkan pengikut. Dia menebarkan ilmunya pada tiap ada kesempatan, dengan harapan men-dapatkan keduniawian dan keinginan tersembunyi. Namun begitu di dalam hati-nya terbayang bahwa dia memiliki kedudukan di sisi Allah, karena dia di-statuskan ulama, dia berbusana dan bertutur-kata seperti ulama, meskipun se-sungguhnya dia rakus pada keduniawian secara lahir maupun batin. Yang ini tergolong orang-orang rusak, tergolong orang-orang bodoh yang tertipu, karena harapan taubatnya diterima terputus disebabkan dia meyakini dirinya tergolong orang-orang ihsan. Dia lupa terhadap firman-Nya Ta’ala:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
    Ya khususnya orang-orang yang telah beriman, kenapa kalian mengatakan yang tidak kalian lakukan?.” Dia juga tergolong orang yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
    أَناَ مِنْ غَيْرِ الدَّجاَّلِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجاَّلِ) فَقِيْلَ: وَماَ هُوَ ياَرَسُوْلَ اللهِ؟، فَقاَلَ: (عُلَماَءُ السُّوْءِ
    Saya pada selain Dajjal lebih mengkhawatirkan atas kalian.” Ada yang berkata “Apakah itu ya Rasulallah?.” Baginda bersabda “Ulama suuk (jelek).” Karena tujuan Dajjal adalah menyesatkan; sementara orang alim yang ini meskipun lisan dan makalahnya memalingkan manusia dari duniawi, namun sebetulnya dia telah mendorong manusia pada duniawi dengan kerja-nyata, padahal ungkapan yang diutarakan dengan kerja-nyata lebih fasih dari pada diungkapkan dalam bentuk tutur-kata. Tabiat manusia cenderung lebih mudah mengikuti perbutan dari pada mengikuti ucapan. Amalan alim yang suk yang tertipu ini lebih merusak dari pada tutur katanya yang menebarkan kebaikan. Yang sudah-sudah, keberanian orang bodoh men-cintai duniawi tak lain keculi karena keberanian ulama. Itu berarti ilmu dia justru menyebabkan hamba-hamba Allah berani melakukan kemaksiatan. Dirinya yang bodoh adalah hina, namun berangan-angan penuh harapan, bah-kan ia juga berdoa agar Allah memberi dia anugrah melalui ilmunya, bahkan terbayang dalam hatinya bahwa dia lebih baik dari pada hamba-hamba Allah kebanyakan.

Berkali-kali dan di beberapa tempat KH Nur hasan Ubaidah ditanya “Bagaimana hukumnya kalau mandi besar atau jinabat, langsung meratakan air ke seluruh tubuh, tanpa memulai wudhu dulu seperti Nabi?.” Beliau menjawab “Boleh dan sah.” Besar kemungkinan karena sebelum beliau datang ke Makkah untuk mengkaji kutubussittah beliau telah membaca Bidayatul-Hidayah tulisan Imam Ghazali. Penerus beliau KH Mas’udi Rodhi dan KH Kasmudi pernah berkata “لِساَنُ الْحاَلِ أَفْصَحُ مِنْ لِساَنِ اْلمَقاَلِ – Bahasa dengan peragaan lebih fasih dari pada bahasa makalah.” Juga sebetulnya ucapan Imam Ghazali yang ditulis di dalam Bidayatul-Hidayah. Hanya saja karena menurut Ibnu Hajar “Kitab yang manfaatnya paling besar setelah Kitab Allah adalah Bukhari.” Maka KH Nur Hasan dengan sengaja mengajak pengikutnya untuk mengkaji dan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, agar lebih selamat dan lebih mendapatkan barakah. Bukhari meriwayatkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِىُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « مَا مِنَ الأَنْبِيَاءِ نَبِىٌّ إِلاَّ أُعْطِىَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِى أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَىَّ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Abdullah bin Yusuf guru Hadits kami murid Al-Laits murid Sa’id Al-Maqburi menyampaikan Hadits dari ayahnya dari Abi Hurairah: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda “Tiada seorang Nabi dari Nabi-Nabi yang ada kecuali pasti telah diberi yang men-dampakkan manusia beriman padanya. Namun yang telah diberikan padaku adalah wahyu yang Allah wahyukan padaku. Maka saya optimis akan menjadi lebih banyak-nya mereka pengikutnya di hari kiamat.”

Ada tiga kelumit yang berada di dalam firman Allah yang jika diperhatikan sangat bermanfa’at
“أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Justru mereka berkata ‘dia telah mengarangnya’. Katakan ‘maka datangkan sepuluh surat (judul karya ilmiah) se-misalnya yang dikarang!. Dan ajaklah orang yang kalian mampu (mengajak) selain Allah, jika kalian telah benar!. Namun jika mereka mutlak tidak mampu menga-bulkan pada kalian, maka ketahuilah bahwa:
  • Sungguh ia telah diturunkan dengan memuat ilmu Allah.
  • Dan bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali dia.
  • Bukankah kalian akan masuk Islam."
  1. Kelumit pertama berbunyi Am yang di sini diartikan justru berdasarkan Tafsir Khazin dan lainnya:
    { أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ } يَعْنِيْ بَلْ يَقُوْلُ كُفاَّرُ مَكَّةَ اخْتَلَقَهُ
    Am yaquulunaftaraah, yakni ‘justru orang-orang kafir Makkah berkata dia telah mengarangnya’. Memang dalam beberapa tempat am diartikan apa-kah, namun di sini diartikan bal atau justru, karena kontek yang ada. Memang dalam bahasa Arab bal kadang diartikan justru. Contoh:
    حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا هِشَامٌ أَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ أَخْبَرَهُمْ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ شَيْبَةَ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ فَحَدَّثَنِى أَنَّ جَدَّهُ حَزْنًا قَدِمَ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - . فَقَالَ « مَا اسْمُكَ » . قَالَ اسْمِى حَزْنٌ . قَالَ « بَلْ أَنْتَ سَهْلٌ »
    Ibrahim bin Musa murid Hisyam bercerita Hadits pada kami “Sesungguhnya Ibnu Juraij memberi khabar mereka: ‘Abdul-Hamid bin Jubair bin Syaibah memberiku khabar ‘saya pernah duduk ke dekat Sa’id bin Al-Musayyab. Akhirnya Sa’id bin Al-Musayyab bercerita bahwa sungguh kakeknya bernama Hazn telah datang pada Nabi صلى الله عليه وسلم. Tak lama kemudian Nabi bertanya ‘siapa namamu?’. Ia berkata ‘namaku Hazn’. Nabi bersabda ‘bal (justru) kau ini Sahl’.”
    [HR Bukhari juz 20 halaman 290].

    قَالَ إِسْحَاقُ بْنُ أَبِى طَلْحَةَ حَدَّثَنِى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ - وَهِىَ جَدَّةُ إِسْحَاقَ - إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ لَهُ وَعَائِشَةُ عِنْدَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ الْمَرْأَةُ تَرَى مَا يَرَى الرَّجُلُ فِى الْمَنَامِ فَتَرَى مِنْ نَفْسِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ مِنْ نَفْسِهِ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ فَضَحْتِ النِّسَاءَ تَرِبَتْ يَمِينُكِ. فَقَالَ لِعَائِشَةَ « بَلْ أَنْتِ فَتَرِبَتْ يَمِينُكِ نَعَمْ فَلْتَغْتَسِلْ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ إِذَا رَأَتْ ذَاكِ »
    Ischaq bin Abi Thalchah berkata “Anas bin Malik bercerita padaku ‘Ummu Sulaim nenek Ischaq pernah datang pada Rasulallah صلى الله عليه وسلم untuk berkata ‘ya Rasulallah, seorang wanita menyaksikan yang disaksikan seorang pria di waktu tidur (ber-mimpi), lalu ia menyaksikan yang disaksikan oleh pria di dalam tidur tersebut (mengeluarkan cairan)?’: saat itu di sisi belaiu صلى الله عليه وسلم ada ’A’isyah. ‘A’isyah berkata ‘ya Umma Sulaim kau telah mempermalukan wanita. Jatuh tanganmu’. Sontak dia bersabda pada ‘A’isyah ‘bal (justru) kamu yang jatuh tanganmu. Betul, hendaklah dia mandi, ya Umma Sulaim, jika dia menyaksikan demikian itu’.”
    [HR Muslim juz I halaman 171].
  2. Kelumit kedua berbunyi lam yang di sini diartikan mutlak tidak, berdasar-kan tulisan Jalalud-Din As-Sayuthi dalam Al-Itqan “لَمْ حَرْفُ جَزْمٍ لِنَفْيِ الْمُضاَرِعِ وَقَلْبِهِ ماَضِياً نَحْوُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ – Lam adalah harfu jazmin untuk meniadakan mudhari’ dan kebalikannya yaitu di waktu lampau, contoh: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ – Mutlak tidak berputra dan mutlak tidak diputrakan.”
  3. Kelumit ketiga berbunyi “Fa’lamuu,” yang di sini diartikan maka ketahu-ilah. Akan lebih tepat jika diartikan maka ilmuilah, karena i’lamuu berasal dari ‘alima ya’lamu ‘ilman, dan ilmu ialah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Ada tiga pernyataan yang difirmankan setelah “Fa’lamuu:
    • Annmaa unzila bi’ilmillaah – Bahwa sesungguhnya ia (Al-Qur’an) diturunkan dengan memuat ilmu Allah.
    • Wa an laaa Ilaaha illaa Huwa – Dan bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Dia.
    • Fahal antum muslimuun – Maka bukankah kalian akan masuk Islam?.” Hal di sini diartikan bukankah berdasarkan: هَلْ حَرْفُ اسْتِفْهاَمٍ يُطْلَبُ بِهِ التَّصْدِيْقُ دُوْنَ التَّصَوُّرِ – Hal adalah harfustifham (huruf untuk ber-tanya) dengan harapan dibenarkan, namun juga huruf tashawwur. [Al-Itqan juz 1 halaman 203].

Ada orang bertanya “Berdasarkan ayat di atas, ayat lainnya, dan Hadits yang di-riwayatkan Tirmidzi di atas, berarti tentang terjadinya Perang Salib telah diramal atau dinubuat dalam Al-Qur’an?.” Jawabannya “Tidak hanya Perang Salib, bahkan setelah semua orang iman yang di neraka masuk ke surga semuanya, Al-Qur’an menerangkan: وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } [الزمر: 75] – Dan di antara mereka dihukumi dengan hak. Dan dikatakan “الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ – Segala puji hak Allah Tuhan seluruh alam.” [Qs Az-Zumar 75].
__________________________________________________________________________________
(1)Penulis bukan merendahkam Imam Ghazali tetapi memberi tahu pembaca bahwa sehebat apapun Imam Ghazali tetap juga manusia yang pernah keliru. Orang terpandai sejagad bernama Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ saja pernah berbuat kesalahan hingga ditegur Tuhan
“يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Ya khususnya Nabi, kenapa kau haramkan apa yang Allah telah menghalalkan untukmu untuk mencari keridhoan istri-istrimu. Sedangkan Allah Maha pengampun Maha penyayang.”
Selain itu agar pembaca tahu bahwa derajat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi lebih unggul di atas Imam Al-Ghazali, walaupun dalam kenyataannya kaum awam dari Ahlus-Sunnah akhirnya justru banyak yang mengagumi dan mengikuti Imam Al-Ghazali. Itu karena uraiannya lebih mudah dicerna. Wallahu a’lam. Bermacam-macam pendapat ulama mengenai hukum di saat Nabi mengharamkan yang dihalalkan Allah mengenai istri, hamba-sahaya-wanita, atau madu. Sebagian mereka berkata “Saat itu Nabi tidak berdosa karena maksudnya hanya mengharamkan untuk dirinya sendiri’. Adanya Allah menegur karena dia sebagai panutan manusia. Gambarannya seperti ketika Musa ditanya seorang ‘siapakah orang yang paling pandai di bumi?’. Musa menjawab ‘saya’. Karena dia menyadari dirinya sebagai satu-satunya Rasul yang diberi wahyu dan mendapatkan Kitab Suci. Saat itu Allah menegur ‘bala yang artinya ada saja. Yaitu hamba-Ku yang bertempat tinggal di per-temuannya dua lautan’.” Namun yang lebih pantas dikaji ialah uraian Abdur-Rahman As-Suhaili:
فَأَمّا مَنْ قَالَ التّحْرِيمُ كُلّهُ لَغْوٌ لَا شَيْءَ فِيهِ فَاحْتَجّوا بِأَنّ اللّهَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَجْعَلْ لِلْعَبْدِ تَحْرِيمًا وَلَا تَحْلِيلًا وَإِنّمَا جَعَلَ لَهُ تَعَاطِيَ الْأَسْبَابِ الّتِي تَحِلّ بِهَا الْعَيْنُ وَتَحْرُمُ كَالطّلَاقِ وَالنّكَاحِ وَالْبَيْعِ وَالْعِتْقِ وَأَمّا مُجَرّدُ قَوْلِهِ حَرّمْت كَذَا وَهُوَ عَلَيّ حَرَامٌ فَلَيْسَ إلَيْهِ . قَالَ تَعَالَى : { وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ } [ النّحْلُ 116 ] وَقَالَ تَعَالَى : [ ص 280 ] { يَا أَيّهَا النّبِيّ لِمَ تُحَرّمُ مَا أَحَلّ اللّهُ لَكَ } [ التّحْرِيمُ 1 ] فَإِذَا كَانَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَجْعَلْ لِرَسُولِهِ أَنْ يُحَرّمَ مَا أَحَلّ اللّهُ لَهُ فَكَيْفَ يَجْعَلُ لِغَيْرِهِ التّحْرِيمَ ؟ . قَالُوا : وَقَدْ قَالَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كُلّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدّ وَهَذَا التّحْرِيمُ كَذَلِكَ فَيَكُونُ رَدّا بَاطِلًا.
Maka adapun orang yang berkata “Segala pengharaman adalah sia-sia tak berarti. Mereka ber-hujah ‘karena Allah سُبْحَانَهُ mutlak tidak memberi hak mengharamkan dan menghalalkan pada seorang hamba. Sungguh hak yang Allah berikan pada seorang hamba hanya sebatas jalan yang mem-buat halal atau haram secara nyata, seperti thalaq, nikah, jual-beli, pemerdekaan hamba-sahaya. Ada-pun orang yang berkata “Saya telah menghramkan ini. Dia haram untukku,” sebetulnya tidaklah men-jadi haram. Allah Ta’ala berfirman
“{ وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ } [ النّحْلُ 116 ]
{Dan kalian jangan mengatakan pada yang lisan kalian menerangkan bohong ‘ini halal dan ini haram’ dengan tujuan kalian menyusun kebohongan atas Allah.”} [Qs An-Nachl 116]. Allah Ta’la juga berfirman:
{ يَا أَيّهَا النّبِيّ لِمَ تُحَرّمُ مَا أَحَلّ اللّهُ لَكَ } [ التّحْرِيمُ 1 ]
{Hai khususnya Nabi, kenapa kau mengharamkan yang telah Allah halalkan untukmu?.”} [Qs At-Tachrim 1]. Jika Allah tidak memberi hak meng-haramkan yang Allah halalkan pada Rasul-Nya, lalu bagaimana mungkin Dia memberi hak meng-haramkan pada lainnya?. Mereka berkata “Padahal sungguh Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ telah bersabda ‘semua amalan yang bukan perintah kami maka ditolak’.” Pengharaman yang ini pun juga demikian ditolak lagi bathil.

(2)Penulis meyakini naskah dalam Maktabah Syamilah yang dinukil ini عمل salah. Penulis memper-gunakan yang benar naskah terbitan Thoha Putra عَلِمَ.
__________________________________________________________________
Kontributor: Al-Mukarrom Ustad KH. Shobirun Ahkam, pimpinan Pondok LDII Mulyo Abadi, Sleman, Yogyakarta

Artikel Sejenis

  1. IMAM AL-GHAZALI, PENGIKUT AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH (BAGIAN 1)
  2. IMAM AL-GHAZALI, PENGIKUT AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH (BAGIAN 2)
  3. Imam Al-Ghazali, Pengikut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (bagian 4)

Imam Al-Ghazali Pengikut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (bagian 3)

Orang bodoh celaka karena tidak mau mencari ilmu agama, orang alim celaka 100 kali karena tidak mau mengamalkan ilmunya.

Kembali pada ulasan Imam Al-Ghazali mengenai mencari ilmu:
أَماَّ بَعْدُ: فَاعْلَمْ أَيُّهاَ الْحَرِيْصُ اْلمُقْبِلُ عَلَى اقْتِباَسِ الْعِلْمِ، اْلمُظْهِرُ مِنْ نَفْسِهِ صِدْقَ الرُّغْبَةِ، وَفَرْطَ التَّعَطُّشِ إِلَيْهِ أَنَّكَ إِنْ كُنْتَ تَقْصُدُ بِالْعِلْمِ اْلمُناَفِسَةَ، وَاْلمُبَاهاَةَ، وَالتَّقَدُّمَ عَلَى اْلأَقْراَنِ، وَاسْتِماَلَةَ وُجُوْهِ الناَّسِ إِلَيْكَ، وَجَمْعَ حُطَامِ الدُّنْياَ؛ فَأَنْتَ ساَعٍ فِي هَدْمِ دِيْنِكَ، وَإِهْلاَكِ نَفْسِكَ، وَبَيْعِ آخِرَتِكَ بِدُنْياَكَ؛ فَصَفْقَتُكَ خاَسِرَةٌ، وَتِجاَرَتُكَ باَئِرَةٌ، وَمُعَلِّمُكَ مُعِيْنٌ لَكَ عَلَى عِصْياَنِكَ، وَشَرِيْكٌ لَكَ فِي خُسْراَنِكَ، وَهُوَ كَباَئِعِ سَيْفٍ لِقاَطِعِ طَرِيْقٍ، كَماَ قاَلَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: (مَنْ أَعاَنَ عَلَى مَعْصِيَةٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ كاَنَ شَرِيْكاً فِيْهاَ).وَإِنْ كاََنَتْ نِيَّتُكَ َوَقَصْدَُْكَِ، بَيْنَكَ وَبَيْنَ اللهِ تَعاَلَى، مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ: اْلهِداَيَةَ دُوْنَ مُجَرَّدِ الرِّواَيَةِ؛ فَأَبْشِرْ؛ فَإِنَّ اْلمَلاَئِكَةَ تَبْسُطُ لَكَ أَجْنِحَتَهاَ إِذاَ مَشَيْتَ، وَحِيْتاَنُ الْبَحْرِ تَسْتَغْفِرُ لَكَ إِذاَ سَعَيْتَ. وَلَكِنْ يَنْبَغِيْ لَكَ أَنْ تَعَلَّمَ، قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ، أَنَّ اْلهِداَيَةَ الَّتِيْ هِيَ ثَمْرَةُ الْعِلْمِ لَهاَ بِداَيَةٌ وَنِهاَيَةٌ، وَظاَهِرٌ وَباَطِنٌ، وَلاَ وُصُوْلَ إِلَى نِهاَيَتِهاَ إِلاَّ بَعْدَ إِحْكاَمِ بِداَيَتِهاَ، وَلاَ عُثُوْرَ عَلَى باَطِنِهاَ إِلاَّ بَعْدَ الْوُقُوْفِ عَلَى ظاَهِرِهاَ
Adapun setelah itu, ketahuilah hai khususnya orang yang bertekad bulat mencari ilmu, yang menampakkan keseriusan rasa senang dari lubuk hati dalam urusan mencari ilmu, dan tak mau kehausan ilmu. Sungguh jika maksudmu mencari ilmu untuk mencari:
  • kemuliaan dan kehebatan,
  • menonjol mengalahkan teman-teman sebaya,
  • agar wajah-wajah manusia berpaling ke arah wajahmu,
  • untuk mengumpulkan rumput-rumput kering dunia,
berarti kau telah berusaha merobohkan agamamu dan merusakkan dirimu dan menjual akhiratmu dengan duniamu. Itu berarti negosiasimu rugi, perdaganganmu bangkrut. Ilmumu justru akan mempermudahkanmu menuju kemaksiat-anmu, dan menjadi temanmu di dalam kerugianmu. Yakni bagaikan orang yang menjual pedang pada perampok jalanan. Sebagaimana Rasul Allah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ telah bersabda "Barang siapa menolong sebuah ke-maksiatan walaupun dengan setengah kalimat, maka berarti dia telah nyata bergabung di dalamnya."

Namun jika niat dan tujuanmu dalam mencari ilmu antara kau dan Allah agar men-dapatkan hidayah, bukan sekedar ingin punya kemampuan mengupas riwayat, ber-senanglah!, karena para malaikat membentangkan sayapnya di waktu kau berjalan. Dan ikan-ikan lautan memintakan ampunan untukmu ketika kau bergegas. Tetapi seyogyanya kau mengetahui sebelum segala sesuatu, bahwa sungguh hidayah yang merupakan buahnya ilmu ini memiliki:
  • pangkal dan puncak,
  • lahiriyah dan batiniyah (rahasia). Tak mungkin sampai ke puncaknya keculi setelah berusaha memanjat melalui pangkalnya. Dan tak mungkin mampu menyingkapkan rahasianya kecuali setelah merenungi lahiriyah-nya.

Al-Ghazali memang ahli filsafat dan ahli Hadits, uraiannya enak dicerna. Walau begitu ada ucapan Al-Ghazali yang disalahkan oleh Imam Sayuthi. Yaitu ketika dia membahas sabda Nabi:
إِنَّ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ إِذَا بَدَا لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقه خَشَعَ لَهُ ) قَالَ أَبُو حَامِد الْغَزَالِيّ هَذِهِ الزِّيَادَة غَيْر صَحِيحَة نَقْلًا فَيَجِبُ تَكْذِيب نَاقِلهَا وَبَنَى ذَلِكَ عَلَى أَنَّ قَوْل الْفَلَاسِفَة فِي بَاب الْخُسُوف وَالْكُسُوف حَقّ لِمَا قَامَ عَلَيْهِ مِنْ الْبَرَاهِين الْقَطْعِيّ
Sungguh ketika Allah telah menampakkan diri pada sesuatu dari makhluk-Nya, maka makhluk tersebut menunduk). Abu Hamid Al-Ghazali berkata “Tambahan ini tidak shahih secara nakli sehingga diwajibkan men-dustakan pembawa dalil nakli (kemangkulan tersebut).

"Dia berkeyakinan demikian karena ucapan para ahli filsafat mengenai gerhana adalah benar, karena ada dalil-dalil yang nyata sebagai bukti kebenarannya. Imam Sayuthi melanjutkan uraiannya mengenai kekeliruan ucapan Al-Ghazali
الَ السُّبْكِيّ قَوْل الْفَلَاسِفَة صَحِيح كَمَا قَالَ الْغَزَالِيّ لَكِنَّ إِنْكَار الْغَزَالِيّ هَذِهِ الزِّيَادَة غَيْر جَيِّد فَإِنَّهُ مَرْوِيّ فِي النَّسَائِيِّ وَغَيْره وَتَأْوِيله ظَاهِر فَأَيُّ بُعْدٍ فِي أَنَّ الْعَالِم بِالْجُزْئِيَّاتِ وَمُقَدِّر الْكَائِنَات سُبْحَانه يُقَدِّر فِي أَزَل الْأَزَل خُسُوفهمَا بِتَوَسُّطِ الْأَرْض بَيْن الْقَمَر وَالشَّمْس وَوُقُوف جُرْم الْقَمَر بَيْن النَّاظِر وَالشَّمْس وَيَكُون ذَلِكَ وَقْت تَجَلِّيه سُبْحَانه وَتَعَالَى عَلَيْهِمَا فَالتَّجَلِّي سَبَب لِكُسُوفِهِمَا قَضَتْ الْعَادَة بِأَنَّهُ يُقَارِن تَوَسُّط الْأَرْض وَوُقُوف جُرْم الْقَمَر لَا مَانِع مِنْ ذَلِكَ وَلَا يَنْبَغِي مُنَازَعَة الْفَلَاسِفَة فِيمَا قَالُوا إِذَا دَلَّتْ عَلَيْهِ بَرَاهِين قَطْعِيَّة
As-Subki berkata ‘ucapan para ahli filsafat shahih sebagaimana ucapan Al-Ghazali. Tetapi keingkaran Al-Ghazali terhadap tambahan ini riwayat tidaklah baik. Karena tambahan tersebut diriwayatkan di dalam Hadits Nasa’i dan lainnya, dan takwil-nya pun jelas sekali. Lalu sampai di manakah jauhnya ilmu seorang alim yang menguasai beberapa bagian ilmu dan memperkirakan beberapa keadaan Yang Maha Suci? Yang sedang dan akan memperkirakan segala yang azal azali. Ger-hananya keduanya karena menengahnya bumi pada titik garis antara bulan dan matahari. Dan karena bertempatnya fisik bulan di antara orang yang mengamati dan matahari. Dan demikian itulah waktu menampaknya Allah سُبْحَانه وَتَعَالَى pada keduanya. Maka menampak-Nya adalah sebagai penyebab gerhananya keduanya. Sudah menjadi adat kebiasaan yang berlaku bahwa menengahnya bumi dan ber-tempatnya fisik bulan pada posisi tersebut, mutlak tidak ada yang mampu meng-halang-halangi demikian itu. Dan tidaklah pantas bagi ahli filsafat mengutara-kan pernyataan tersebut, apabila ada dalil nyata yang menunjukkannya secara tegas(1).

Imam Ghazali melanjutkan ulasannya:
وَهَأَناَ مُشِيْرٌ عَلَيْكَ بِبِداَيَةِ الْهِداَيَةِ؛ لِتثجَرِّبَ بِهاَ نَفْسَكَ، وَتَمْتَحِنَ بِهاَ قَلْبَكَ، فَإِنْ صاَدَفْتَ قَلْبَكَ إِلَيْهاَ ماَئِلاً، وَنَفْسُكَ بِهاَ مُطاَوِعَةٌ، وَلَهاَ قاَبِلَةٌ؛ فَدُوْنَكَ التَّطَلُّعُ إِلَى النِّهاَياَتِ وَالتَّغَلْغلِ فِي بِحاَرِ الْعُلُوْمِ
Dan hai, inilah saya yang akan menjelaskanmu mengenai Bidayatil-Hidayah. Agar kau mencoba dengan dirimu dan menguji hatimu sendiri. Jika kau jumpai hatimu condong padanya dan dirimu bisa menerimanya dengan senang, silahkan kau cer-mati hasilnya dan masuklah ke dalam lautan-lautan ilmu tersebut.

Lautan ilmu adalah Al-Qur’an. Allah berfirman:
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakan ‘kalau lautan telah menjadi tinta bagi kalimat Tuhanku, niscaya lautan tersebut telah habis sebelum kalimat Tuhanku habis. Walaupun kami datangkan semisal itu tintanya’.
[Qs Al-Kahfi 109].

Imam Tirmidzi menulis pernyataan Sayyidinaa Ali dari Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ di dalam Sunannya juz 11 halaman 93 mengenai keluasan ilmu Al-Qur’an:
أَمَا إِنِّى قَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ - يَقُولُ « أَلاَ إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ ». فَقُلْتُ مَا الْمَخْرَجُ مِنْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ نَبَأُ مَا كَانَ قَبْلَكُمْ وَخَبَرُ مَا بَعْدَكُمْ وَحُكْمُ مَا بَيْنَكُمْ هُوَ الْفَصْلُ لَيْسَ بِالْهَزْلِ مَنْ تَرَكَهُ مِنْ جَبَّارٍ قَصَمَهُ اللَّهُ وَمَنِ ابْتَغَى الْهُدَى فِى غَيْرِهِ أَضَلَّهُ اللَّهُ وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَهُوَ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ هُوَ الَّذِى لاَ تَزِيغُ بِهِ الأَهْوَاءُ وَلاَ تَلْتَبِسُ بِهِ الأَلْسِنَةُ وَلاَ يَشْبَعُ مِنْهُ الْعُلَمَاءُ وَلاَ يَخْلَقُ عَلَى كَثْرَةِ الرَّدِّ وَلاَ تَنْقَضِى عَجَائِبُهُ هُوَ الَّذِى لَمْ تَنْتَهِ الْجِنُّ إِذْ سَمِعَتْهُ حَتَّى قَالُوا (إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِى إِلَى الرُّشْدِ) مَنْ قَالَ بِهِ صَدَقَ وَمَنْ عَمِلَ بِهِ أُجِرَ وَمَنْ حَكَمَ بِهِ عَدَلَ وَمَنْ دَعَا إِلَيْهِ هُدِىَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ »
Ingat, sungguh saya pernah mendengar Rasulallah صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ bersabda “Sungguh akan ada fitnah.” Tak lama kemudian saya berkata “Berbentuk apakah jalan keluar darinya ya Rasulallah?.” Beliau ber-sabda “Kitab Allah, di dalamnya ada:
  1. Cerita apa yang telah ada sebelum kalian.
  2. Khabar apa setelah kalian.
  3. Hukum antara kalian.
Dialah penjelasan yang bukan main-main. Barang siapa meninggalkannya karena sombong maka Allah mematahkannya. Barang siapa mencari petunjuk pada selain dia (Quran), Allah menyesatkannya. Dia tali Allah yang sangat kuat. Dia peringatan yang bijaksana. Dia jalan yang lurus. Dia yang membuat ha-wa nafsu takkan berbelok, dan takkan tercampur oleh bahasa makhluq. Dan ulama yang meneguknya takkan kenyang. Dan takkan rusak karena sering diulang-ulang. Dan kejaiban-keajaibannya takkan berakhir. Dia-lah yang ketika didengar oleh jin maka mereka tak henti-hentinya merenungi hingga akhirnya berkata:
‘إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِى إِلَى الرُّشْدِ
Sungguh kami telah mendengarkan Al-Qur’an menakjubkan yang menunjukkan pada ke-benaran’. Barang siapa berkata berdasarkan dia (Quran) maka telah benar. Barang siapa mengamalkannya maka diberi pahala. Barang siapa meng-hukumi berdasarkan dia (Quran) maka adil. Barang siapa mengajak menuju dia maka diberi bimbingan ke jalan yang sangat lurus.”

Meskipun Imam Tirmidzi menjelaskan nilai Hadits tersebut
هَذَا حَدِيثٌ لاَ نَعْرِفُهُ إِلاَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَإِسْنَادُهُ مَجْهُولٌ. وَفِى الْحَارِثِ مَقَالٌ
Ini Hadits tidak kami ketahui kecuali hanya dari ini arah. Dan isnad-nya pun majhul, maksudnya ada seorang perowi yang tak dikenali para ahli Hadits. Dan perowi yang bernama Harits mendapat komentar tidak baik.”
Namun di dalam Syifa’ul-Ghilal Imam Tirmidzi berkata:
جَمِيعُ مَا فِى هَذَا الْكِتَابِ مِنَ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ وَقَدْ أَخَذَ بِهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلاَ حَدِيثَيْنِ
Semua Hadits yang berada di dalam ini kitab (Sunan Tirmidzi) adalah ma’mul, maksudnya bisa diamalkan. Dan sungguh sebagian ahli ilmu telah berpedoman dengannya, keculi dua Hadits:
  1. حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ وَلاَ مَطَرٍ
    Hadits Ibnu Abbas ‘sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah menjamak antara dluhur dan ashar, maghrib dan isyak di Madinah bukan karena khauf (takut) musuh maupun karena pergi jauh ataupun karena hujan’.
  2. حَدِيثُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِى الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ
    Hadits Nabi صلى الله عليه وسلم ‘sesungguhnya Nabi bersabda ketika dia minum arak maka deralah dia, jika mengulangi yang keempat kali maka bunuhlah!’.

Yang membuat banyak orang terperangah dan terpesona karena Imam Ghazali sering kali membahas mengenai hati atau niat:
وَإِنْ صاَدَفْتَ قَلْبَكَ عِنْدَ مُواَجِهَتِكَ إِياَّهاَ بِهاَ مَسُوْفاً، وَبِالْعَمَلِ بِمُقْتَضاَهاَ مُماَطِلاً؛ فَاعْلَمْ أَنَّ نَفْسَكَ الْماَئِلَةُ إِلَى طَلَبِ الْعِلْمِ هِيَ النَّفْسُ اْلأَماَّرَةُ بِالسُّوْءِ، وَقَدِ انْتَهَضَتْ مُطِيْعَةً لِلشَّيْطاَنِ اللَّعِيْنِ لِيُدْلِيَكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ؛ فَيَسْتَدْرِجُكَ بِمَكِيْدَتِهِ إِلَى غَمْرَةِ الْهَلاَكِ، وَقَصْدِهِ أَنْ يَرُوْجَ عَلَيْكَ الشَّرَّ فِي مَعْرِضِ الْخَيْرِ حَتَّى يُلْحِقَكَ (بِاْلأخسَرِيْنَ أَعْماَلاً، الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا). وَعِنْدَ ذَلِكَ يَتْلُوْ عَلَيْكَ الشَّيْطاَنُ فَضْلَ الْعِلْمِ وَدَرَجَةَ الْعُلَماَءِ، وَماَ وَرَدَ فِيْهِ مِنَ اْلأَخْباَرِ وَاْلآثاَرِ. وَيُلْهِيكَ عَنْ قَوْلِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: (مَنِ ازْداَدَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً)، وَعَنْ قَوْلِهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ: (أَشَدُّ الناَّسِ عَذاَباً يَوْمَ الْقِياَمَةِ عاَلِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ) وَكاَنَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ: (اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ ، وَقَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَعَمَلٍ لاَ يُرْفَعُ، وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ)
Dan jika kau dapati hatimu di saat kau serius mengaji tiba-tiba saja susah atau kosong, dan untuk mengamalkannya terasa berat, maka ketahuilah bahwa jiwamu yang telah condong pada mencari ilmu adalah nafsu yang akan mendorong pada kejelekan, dan mentaati Syaitan laknat yang akan menurunkanmu dengan tali tipuannya. Akhirnya ia akan menjebakmu dengan usahanya ke arah sumber kerusakan. Dan akan mengaburkanmu dengan kejelekan yang disusupkan pada kebaikan, hingga akhirnya ia akan menyusulkanmu pada go-longan orang-orang yang lebih rugi amalannya. Yaitu orang-orang yang usaha mere-ka di dalam kehidupan dunia tersesat, namun mereka menyangka bahwa sungguh me-reka memperbaiki kelakuan. Saat itu pula Syaitan membacakan padamu mengenai keutamaan ilmu dan derajat ulama, dan berita maupun Hadits apa saja yang mem-bahas mengenai itu. Selain itu Syaitan juga akan membuatmu melupakan sabda Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ:
• ” مَنِ ازْداَدَ عِلْماً وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً
Barang siapa ilmunya bertambah namun hidayahnya tidak bertambah, maka takkan menambahi dia kecuali jauhnya dari Allah.”
[Kanzul-‘Ummal juz 10 halaman 193].
• “أَشَدُّ الناَّسِ عَذاَباً يَوْمَ الْقِياَمَةِ عاَلِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
Lebih sangatnya siksaan di hari kiamat orang alim yang Allah tak memberi manfaat dia melalui ilmunya.”
[Kanzul-‘Ummal juz 10 halaman 208].

Konon Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ pernah berdoa
“اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ ، وَقَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَعَمَلٍ لاَ يُرْفَعُ وَدُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ
Ya Allah, sungguh saya berlindung pada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat, dan hati yang tak khusuk, dan amalan yang tidak diangkat, dan doa yang tak didengar.” Kata Imam Ghazali “Ada lagi yang kalian akan dibuat lupa oleh Syaitan: sabda Nabi:
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِي بِأَقْواَمٍ تُقْرَضُ شَفاَهُهُمْ ِبمَقاَرِضَ مِنْ ناَرٍ، فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قاَلُوْا: كُناَّ نَأْمُرُ بِالْخَيْرِ وَلاَ نَأْتِيْهِ وَنَنْهَى عَنِ الشَّرِّ وَنَأْتِيْهِ
Di malam saya diisra’kan saya bertemu kaum yang bibir mereka dipotong dengan gunting dari api. Sontak saya bertanya ‘siapakah kalian?’. Mereka menjawab ‘kami dulu perintah pada kebajikan namun kami tidak menjalani-nya. Dan mencegah kemungkaran, namun kami justru menjalaninya’.”
Pesan Ghazali:
فَإِياَّكَ ياَ مِسْكِيْن أَنْ تُذْعِنَ لِتَزْوِيْرِهِ فَيُدْلِيْكَ بِحَبْلِ غُرُوْرِهِ، فَوَيْلٌ للْجاَهِلِ حَيْثُ لَمْ يَتَعَلَّمْ مَرَّةٌ واَحِدَةٌ، وَوَيْلٌ لِلْعاَلِمِ حَيْثُ لَمْ يَعْمَلْ بِماَ عَلِمَ أَلْفُ مَرَّة
Hindarilah olehmu hai orang miskin, merendah dan mendatangi Syaitan!. Karena dia akan menjatuhkanmu dengan tali tipuannya. Celakanya orang bodoh hanya sekali yaitu karena tidak mau belajar; sedangkan ce-lakanya orang alim seratus kali karena tidak mengamalkan ilmunya (2).”

Ucapan Imam Ghzali pantas diperhatikan
وَاعْلَمْ أَنَّ الناَّسَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْواَلٍ: رَجُلٍ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيَتَّخِذَهُ زاَدَهُ إِلَى الْمَعاَدِ، وَلَمْ يَقْصُدْ بِهِ إِلاَّ وَجْهَ اللهِ وَالداَّرَ اْلآخِرَةِ؛ فَهَذاَ مِنَ الْفاَئِزِيْنَ وَرَجُلٍ طَلَبَهُ لِيَسْتَعِيْنَ بِهِ عَلَى حَياَتَهُ الْعاَجِلَةَ، وَيَناَلُ بِهِ الْعِزَّ وَالْجاَهَ وَالْماَلَ، وَهُوَ عاَلِمٌ بِذَلِكَ، مُسْتَشْعِرٌ فِي قَلْبِ رِكاَكِهِ حاَلِهِ وَخِسَّةِ مَقْصَدِهِ، فَهَذاَ مِنَ الْمُخاَطِرِيْنَ. فَإِنْ عاَجَلَهُ أَجَلُهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ خِيْفَ عَلَيْهِ مِنْ سُوْءِ الْخاَتِمَةِ، وَبَقِيَ أَمْرُهُ فِي خَطْرِ المَشِيْئَةِ؛ وَإِنْ وَفَقَ لِلتَّوْبَةِ قَبْلَ حُلُوْلِ اْلأَجَلِ، وَأَضاَفَ إِلَى الْعِلْمِ الْعَمَلَ، وَتَداَرَكَ مَا فَرَطَ مِنْهُ مِنَ الخَلَلِ - الْتَحَقَ بِالْفاَئِزِيْنَ، فَإِنَّ التاَّئِبَ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ وَرَجُلٍ ثاَلِثٍ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِ الشَّيْطاَنُ؛ فَاتَّخَذَ عِلْمَهُ ذَرِيْعَةً إِلَى التَّكاَثُرِ بِالْماَلِ، وَالتَّفاَخُرِ بِالْجاَهِ، وَالتَّعَزُّزِ بِكَثْرَةِ اْلأَتْباَعِ، يُدْخِلُ بِعِلْمِهِ كُلَّ مَدْخَلٍ رَجاَءَ أَنْ يَقْضِي مِنَ الدُّنْياَ وَطَرَهُ، وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ يُضْمِرُ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ عِنْدَ اللهِ بِمَكاَنَةٍ، ِلاتِّساَمِهِ بِسِمَةِ الْعُلَماَءِ، وَتَرَسُّمِهِ بِرُسُوْمِهِمْ فِي الزَّىِّ وَالْمَنْطِقِ، مَعَ تَكاَلِبِهِ عَلَى الدُّنْياَ ظاَهِراً وَباَطِناً. فَهَذاَ مِنَ الْهاَلِكِيْنَ، وَمِنَ الحَمْقى الْمَغْرُوْرِيْنَ؛ إِذِ الرَّجاَءُ مُنْقَطِعٌ عَنْ تَوْبَتِهِ لِظَنِّهِ أَنَّهُ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ، وَهُوَ غاَفِلٌ عَنْ قَوْلِهِ تَعاَلَى يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ وَهُوَ مِمَّنْ قاَلَ فِيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ: (أَناَ مِنْ غَيْرِ الدَّجاَّلِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجاَّلِ) فَقِيْلَ: وَماَ هُوَ ياَرَسُوْلَ اللهِ؟، فَقاَلَ: (عُلَماَءُ السُّوْءِ). وَهَذاَ ِلأَنَّ الدَّجاَّلَ غاَيَتُهُ اْلإِضْلاَلُ، وَمِثْلُ هَذاَ الْعاَلِمِ وَإِنْ صَرَفَ الناَّسَ عَنِ الدُّنْياَ بِلِساَنِهِ وَمَقاَلِهِ فَهُوَ داَفِعٌ لَهُمْ إِلَيْهاَ بِأَعْماَلِهِ وَأَحْواَلِهِ، وَلِساَنُ الْحاَلِ أَفْصَحُ مِنْ لِساَنِ اْلمَقاَلِ، وَطِبَاعُ النَّاسِ إِلَى المُساَعِدِي فِي اْلأَعْماَلِ أَمْيَلُ مِنْهاَ إِلَى اْلمُتاَبِعَةِ فِي اْلأَقْواَلِ؛ فَماَ أَفْسَدَهُ هَذاَ المَغْرُوْرُ بِأَعْماَلِهِ أَكْثَرُ مِماَّ أَصْلَحَهُ بِأَقْواَلِهِ، إِذْ لاَ يَسْتَجْرِىءُ الْجاَهِلُ عَلَى الرَّغْبَةِ فِي الدُّنْياَ إِلاَّ بِاسْتِجْراَءِ الْعُلَماَءِ، فَقَدْ صاَرَ عِلْمُهُ سَبَباً لِجُرْأَةِ عِباَدِ اللهِ عَلَى مَعاَصِيْهِ، وَنَفْسُهُ الْجاَهِلَةُ مُذِلَّة مَعَ ذَلِكَ تَمَنِّيْهِ وَتَرَجِّيْهِ، وَتَدْعُوْهُ إِلَى أَنْ يَمُنَّ عَلَى اللهِ بِعِلْمِهِ، وَتُخَيَّلُ إِلَيْهِ نَفْسُهُ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ مِنْ عِباَدِ اللهِ
Ketahuilah bahwa sungguh manusia yang mencari ilmu terbagi tiga:
  1. Orang mencari ilmu untuk berbekal pada tempat kembali, dan maksud tuju-annya hanya perhatian Allah dan kampung akhirat. Yang ini tergolong orang-orang beruntung.
  2. Mencari ilmu untuk mendapatkan kemudahan kehidupan kontan (dunia), meraih kejayaan, kedudukan dan harta kekayaan, namun dia tahu mengenai hal itu, sadar bahwa hal tersebut keliru dan maksud tujuannya adalah hina, maka dia tergolong orang yang belum jelas kedudukannya. Jika ajal kemati-annya segera hadir untuk mengakhiri hidupnya sebelum melakukan taubat, dikhawatirkan ia su’ul-khatimah (jelek akhir hidupnya). Hidup dia pun ter-gantung pada arah kehendaknya. Namun jika dia mendapat taufiq hingga mau bertaubat sebelum kedatangan ajal kematian, dan dia menyatukan ilmu dan amalan, dan membenahi kesalahan secara cermat, maka dia disusulkan pada golongan orang-orang beruntung, karena orang yang bertaubat dari dosa ba-gaikan orang yang tidak berdosa.
  3. Mencari ilmu karena didorong Syaitan. Dia mencari ilmu untuk memper-mudahkan memperbanyak harta kekayaan dan agar bisa membanggakan kedudukan, dan bisa mendapat kemuliaan karena bisa mengumpulkan pengikut. Dia menebarkan ilmunya pada tiap ada kesempatan, dengan harapan men-dapatkan keduniawian dan keinginan tersembunyi. Namun begitu di dalam hati-nya terbayang bahwa dia memiliki kedudukan di sisi Allah, karena dia di-statuskan ulama, dia berbusana dan bertutur-kata seperti ulama, meskipun se-sungguhnya dia rakus pada keduniawian secara lahir maupun batin. Yang ini tergolong orang-orang rusak, tergolong orang-orang bodoh yang tertipu, karena harapan taubatnya diterima terputus disebabkan dia meyakini dirinya tergolong orang-orang ihsan. Dia lupa terhadap firman-Nya Ta’ala:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
    Ya khususnya orang-orang yang telah beriman, kenapa kalian mengatakan yang tidak kalian lakukan?.” Dia juga tergolong orang yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
    أَناَ مِنْ غَيْرِ الدَّجاَّلِ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ مِنَ الدَّجاَّلِ) فَقِيْلَ: وَماَ هُوَ ياَرَسُوْلَ اللهِ؟، فَقاَلَ: (عُلَماَءُ السُّوْءِ
    Saya pada selain Dajjal lebih mengkhawatirkan atas kalian.” Ada yang berkata “Apakah itu ya Rasulallah?.” Baginda bersabda “Ulama suuk (jelek).” Karena tujuan Dajjal adalah menyesatkan; sementara orang alim yang ini meskipun lisan dan makalahnya memalingkan manusia dari duniawi, namun sebetulnya dia telah mendorong manusia pada duniawi dengan kerja-nyata, padahal ungkapan yang diutarakan dengan kerja-nyata lebih fasih dari pada diungkapkan dalam bentuk tutur-kata. Tabiat manusia cenderung lebih mudah mengikuti perbutan dari pada mengikuti ucapan. Amalan alim yang suk yang tertipu ini lebih merusak dari pada tutur katanya yang menebarkan kebaikan. Yang sudah-sudah, keberanian orang bodoh men-cintai duniawi tak lain keculi karena keberanian ulama. Itu berarti ilmu dia justru menyebabkan hamba-hamba Allah berani melakukan kemaksiatan. Dirinya yang bodoh adalah hina, namun berangan-angan penuh harapan, bah-kan ia juga berdoa agar Allah memberi dia anugrah melalui ilmunya, bahkan terbayang dalam hatinya bahwa dia lebih baik dari pada hamba-hamba Allah kebanyakan.

Berkali-kali dan di beberapa tempat KH Nur hasan Ubaidah ditanya “Bagaimana hukumnya kalau mandi besar atau jinabat, langsung meratakan air ke seluruh tubuh, tanpa memulai wudhu dulu seperti Nabi?.” Beliau menjawab “Boleh dan sah.” Besar kemungkinan karena sebelum beliau datang ke Makkah untuk mengkaji kutubussittah beliau telah membaca Bidayatul-Hidayah tulisan Imam Ghazali. Penerus beliau KH Mas’udi Rodhi dan KH Kasmudi pernah berkata “لِساَنُ الْحاَلِ أَفْصَحُ مِنْ لِساَنِ اْلمَقاَلِ – Bahasa dengan peragaan lebih fasih dari pada bahasa makalah.” Juga sebetulnya ucapan Imam Ghazali yang ditulis di dalam Bidayatul-Hidayah. Hanya saja karena menurut Ibnu Hajar “Kitab yang manfaatnya paling besar setelah Kitab Allah adalah Bukhari.” Maka KH Nur Hasan dengan sengaja mengajak pengikutnya untuk mengkaji dan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, agar lebih selamat dan lebih mendapatkan barakah. Bukhari meriwayatkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِىُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « مَا مِنَ الأَنْبِيَاءِ نَبِىٌّ إِلاَّ أُعْطِىَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِى أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَىَّ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Abdullah bin Yusuf guru Hadits kami murid Al-Laits murid Sa’id Al-Maqburi menyampaikan Hadits dari ayahnya dari Abi Hurairah: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda “Tiada seorang Nabi dari Nabi-Nabi yang ada kecuali pasti telah diberi yang men-dampakkan manusia beriman padanya. Namun yang telah diberikan padaku adalah wahyu yang Allah wahyukan padaku. Maka saya optimis akan menjadi lebih banyak-nya mereka pengikutnya di hari kiamat.”

Ada tiga kelumit yang berada di dalam firman Allah yang jika diperhatikan sangat bermanfa’at
“أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Justru mereka berkata ‘dia telah mengarangnya’. Katakan ‘maka datangkan sepuluh surat (judul karya ilmiah) se-misalnya yang dikarang!. Dan ajaklah orang yang kalian mampu (mengajak) selain Allah, jika kalian telah benar!. Namun jika mereka mutlak tidak mampu menga-bulkan pada kalian, maka ketahuilah bahwa:
  • Sungguh ia telah diturunkan dengan memuat ilmu Allah.
  • Dan bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali dia.
  • Bukankah kalian akan masuk Islam."
  1. Kelumit pertama berbunyi Am yang di sini diartikan justru berdasarkan Tafsir Khazin dan lainnya:
    { أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ } يَعْنِيْ بَلْ يَقُوْلُ كُفاَّرُ مَكَّةَ اخْتَلَقَهُ
    Am yaquulunaftaraah, yakni ‘justru orang-orang kafir Makkah berkata dia telah mengarangnya’. Memang dalam beberapa tempat am diartikan apa-kah, namun di sini diartikan bal atau justru, karena kontek yang ada. Memang dalam bahasa Arab bal kadang diartikan justru. Contoh:
    حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا هِشَامٌ أَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ أَخْبَرَهُمْ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ شَيْبَةَ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ فَحَدَّثَنِى أَنَّ جَدَّهُ حَزْنًا قَدِمَ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - . فَقَالَ « مَا اسْمُكَ » . قَالَ اسْمِى حَزْنٌ . قَالَ « بَلْ أَنْتَ سَهْلٌ »
    Ibrahim bin Musa murid Hisyam bercerita Hadits pada kami “Sesungguhnya Ibnu Juraij memberi khabar mereka: ‘Abdul-Hamid bin Jubair bin Syaibah memberiku khabar ‘saya pernah duduk ke dekat Sa’id bin Al-Musayyab. Akhirnya Sa’id bin Al-Musayyab bercerita bahwa sungguh kakeknya bernama Hazn telah datang pada Nabi صلى الله عليه وسلم. Tak lama kemudian Nabi bertanya ‘siapa namamu?’. Ia berkata ‘namaku Hazn’. Nabi bersabda ‘bal (justru) kau ini Sahl’.”
    [HR Bukhari juz 20 halaman 290].

    قَالَ إِسْحَاقُ بْنُ أَبِى طَلْحَةَ حَدَّثَنِى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ - وَهِىَ جَدَّةُ إِسْحَاقَ - إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ لَهُ وَعَائِشَةُ عِنْدَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ الْمَرْأَةُ تَرَى مَا يَرَى الرَّجُلُ فِى الْمَنَامِ فَتَرَى مِنْ نَفْسِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ مِنْ نَفْسِهِ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ فَضَحْتِ النِّسَاءَ تَرِبَتْ يَمِينُكِ. فَقَالَ لِعَائِشَةَ « بَلْ أَنْتِ فَتَرِبَتْ يَمِينُكِ نَعَمْ فَلْتَغْتَسِلْ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ إِذَا رَأَتْ ذَاكِ »
    Ischaq bin Abi Thalchah berkata “Anas bin Malik bercerita padaku ‘Ummu Sulaim nenek Ischaq pernah datang pada Rasulallah صلى الله عليه وسلم untuk berkata ‘ya Rasulallah, seorang wanita menyaksikan yang disaksikan seorang pria di waktu tidur (ber-mimpi), lalu ia menyaksikan yang disaksikan oleh pria di dalam tidur tersebut (mengeluarkan cairan)?’: saat itu di sisi belaiu صلى الله عليه وسلم ada ’A’isyah. ‘A’isyah berkata ‘ya Umma Sulaim kau telah mempermalukan wanita. Jatuh tanganmu’. Sontak dia bersabda pada ‘A’isyah ‘bal (justru) kamu yang jatuh tanganmu. Betul, hendaklah dia mandi, ya Umma Sulaim, jika dia menyaksikan demikian itu’.”
    [HR Muslim juz I halaman 171].
  2. Kelumit kedua berbunyi lam yang di sini diartikan mutlak tidak, berdasar-kan tulisan Jalalud-Din As-Sayuthi dalam Al-Itqan “لَمْ حَرْفُ جَزْمٍ لِنَفْيِ الْمُضاَرِعِ وَقَلْبِهِ ماَضِياً نَحْوُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ – Lam adalah harfu jazmin untuk meniadakan mudhari’ dan kebalikannya yaitu di waktu lampau, contoh: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ – Mutlak tidak berputra dan mutlak tidak diputrakan.”
  3. Kelumit ketiga berbunyi “Fa’lamuu,” yang di sini diartikan maka ketahu-ilah. Akan lebih tepat jika diartikan maka ilmuilah, karena i’lamuu berasal dari ‘alima ya’lamu ‘ilman, dan ilmu ialah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Ada tiga pernyataan yang difirmankan setelah “Fa’lamuu:
    • Annmaa unzila bi’ilmillaah – Bahwa sesungguhnya ia (Al-Qur’an) diturunkan dengan memuat ilmu Allah.
    • Wa an laaa Ilaaha illaa Huwa – Dan bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali Dia.
    • Fahal antum muslimuun – Maka bukankah kalian akan masuk Islam?.” Hal di sini diartikan bukankah berdasarkan: هَلْ حَرْفُ اسْتِفْهاَمٍ يُطْلَبُ بِهِ التَّصْدِيْقُ دُوْنَ التَّصَوُّرِ – Hal adalah harfustifham (huruf untuk ber-tanya) dengan harapan dibenarkan, namun juga huruf tashawwur. [Al-Itqan juz 1 halaman 203].

Ada orang bertanya “Berdasarkan ayat di atas, ayat lainnya, dan Hadits yang di-riwayatkan Tirmidzi di atas, berarti tentang terjadinya Perang Salib telah diramal atau dinubuat dalam Al-Qur’an?.” Jawabannya “Tidak hanya Perang Salib, bahkan setelah semua orang iman yang di neraka masuk ke surga semuanya, Al-Qur’an menerangkan: وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } [الزمر: 75] – Dan di antara mereka dihukumi dengan hak. Dan dikatakan “الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ – Segala puji hak Allah Tuhan seluruh alam.” [Qs Az-Zumar 75].
__________________________________________________________________________________
(1)Penulis bukan merendahkam Imam Ghazali tetapi memberi tahu pembaca bahwa sehebat apapun Imam Ghazali tetap juga manusia yang pernah keliru. Orang terpandai sejagad bernama Muhammad صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ saja pernah berbuat kesalahan hingga ditegur Tuhan
“يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Ya khususnya Nabi, kenapa kau haramkan apa yang Allah telah menghalalkan untukmu untuk mencari keridhoan istri-istrimu. Sedangkan Allah Maha pengampun Maha penyayang.”
Selain itu agar pembaca tahu bahwa derajat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi lebih unggul di atas Imam Al-Ghazali, walaupun dalam kenyataannya kaum awam dari Ahlus-Sunnah akhirnya justru banyak yang mengagumi dan mengikuti Imam Al-Ghazali. Itu karena uraiannya lebih mudah dicerna. Wallahu a’lam. Bermacam-macam pendapat ulama mengenai hukum di saat Nabi mengharamkan yang dihalalkan Allah mengenai istri, hamba-sahaya-wanita, atau madu. Sebagian mereka berkata “Saat itu Nabi tidak berdosa karena maksudnya hanya mengharamkan untuk dirinya sendiri’. Adanya Allah menegur karena dia sebagai panutan manusia. Gambarannya seperti ketika Musa ditanya seorang ‘siapakah orang yang paling pandai di bumi?’. Musa menjawab ‘saya’. Karena dia menyadari dirinya sebagai satu-satunya Rasul yang diberi wahyu dan mendapatkan Kitab Suci. Saat itu Allah menegur ‘bala yang artinya ada saja. Yaitu hamba-Ku yang bertempat tinggal di per-temuannya dua lautan’.” Namun yang lebih pantas dikaji ialah uraian Abdur-Rahman As-Suhaili:
فَأَمّا مَنْ قَالَ التّحْرِيمُ كُلّهُ لَغْوٌ لَا شَيْءَ فِيهِ فَاحْتَجّوا بِأَنّ اللّهَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَجْعَلْ لِلْعَبْدِ تَحْرِيمًا وَلَا تَحْلِيلًا وَإِنّمَا جَعَلَ لَهُ تَعَاطِيَ الْأَسْبَابِ الّتِي تَحِلّ بِهَا الْعَيْنُ وَتَحْرُمُ كَالطّلَاقِ وَالنّكَاحِ وَالْبَيْعِ وَالْعِتْقِ وَأَمّا مُجَرّدُ قَوْلِهِ حَرّمْت كَذَا وَهُوَ عَلَيّ حَرَامٌ فَلَيْسَ إلَيْهِ . قَالَ تَعَالَى : { وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ } [ النّحْلُ 116 ] وَقَالَ تَعَالَى : [ ص 280 ] { يَا أَيّهَا النّبِيّ لِمَ تُحَرّمُ مَا أَحَلّ اللّهُ لَكَ } [ التّحْرِيمُ 1 ] فَإِذَا كَانَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَجْعَلْ لِرَسُولِهِ أَنْ يُحَرّمَ مَا أَحَلّ اللّهُ لَهُ فَكَيْفَ يَجْعَلُ لِغَيْرِهِ التّحْرِيمَ ؟ . قَالُوا : وَقَدْ قَالَ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كُلّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدّ وَهَذَا التّحْرِيمُ كَذَلِكَ فَيَكُونُ رَدّا بَاطِلًا.
Maka adapun orang yang berkata “Segala pengharaman adalah sia-sia tak berarti. Mereka ber-hujah ‘karena Allah سُبْحَانَهُ mutlak tidak memberi hak mengharamkan dan menghalalkan pada seorang hamba. Sungguh hak yang Allah berikan pada seorang hamba hanya sebatas jalan yang mem-buat halal atau haram secara nyata, seperti thalaq, nikah, jual-beli, pemerdekaan hamba-sahaya. Ada-pun orang yang berkata “Saya telah menghramkan ini. Dia haram untukku,” sebetulnya tidaklah men-jadi haram. Allah Ta’ala berfirman
“{ وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ } [ النّحْلُ 116 ]
{Dan kalian jangan mengatakan pada yang lisan kalian menerangkan bohong ‘ini halal dan ini haram’ dengan tujuan kalian menyusun kebohongan atas Allah.”} [Qs An-Nachl 116]. Allah Ta’la juga berfirman:
{ يَا أَيّهَا النّبِيّ لِمَ تُحَرّمُ مَا أَحَلّ اللّهُ لَكَ } [ التّحْرِيمُ 1 ]
{Hai khususnya Nabi, kenapa kau mengharamkan yang telah Allah halalkan untukmu?.”} [Qs At-Tachrim 1]. Jika Allah tidak memberi hak meng-haramkan yang Allah halalkan pada Rasul-Nya, lalu bagaimana mungkin Dia memberi hak meng-haramkan pada lainnya?. Mereka berkata “Padahal sungguh Nabi صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ telah bersabda ‘semua amalan yang bukan perintah kami maka ditolak’.” Pengharaman yang ini pun juga demikian ditolak lagi bathil.

(2)Penulis meyakini naskah dalam Maktabah Syamilah yang dinukil ini عمل salah. Penulis memper-gunakan yang benar naskah terbitan Thoha Putra عَلِمَ.
__________________________________________________________________
Kontributor: Al-Mukarrom Ustad KH. Shobirun Ahkam, pimpinan Pondok LDII Mulyo Abadi, Sleman, Yogyakarta

Artikel Sejenis

  1. IMAM AL-GHAZALI, PENGIKUT AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH (BAGIAN 1)
  2. IMAM AL-GHAZALI, PENGIKUT AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH (BAGIAN 2)
  3. Imam Al-Ghazali, Pengikut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (bagian 4)