Motto

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ* القران سورة آل عمران ١٠٤
“Dan jadilah kamu sekalian bagian dari umat yang menyerukan kebajikan dan mengajak yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung [Quran Surat Ali Imron, ayat 104]

News

Senin, 01 Agustus 2011

Tawaran Sex di Facebook

ditulis oleh : Budi Waluyo, ST
Mungkin anda bertanya-tanya atau geli membaca judul tulisan ini. Tapi ini serius, saya pernah ditawari bermain sex di Facebook oleh seorang gadis usia kelas 2 SMP. Anda akan lebih terkejut kalau saya sampaikan bahwa gadis itu mengaku sudah biasa ganti-ganti pasangan dan tidak jarang melakukan pesta sex atau sex secara rame-rame. MasyaAlloh. Seorang ABG yang masih bau kencur sudah kecanduan sex. Nauzubillahi minzalik.

Selama ini kita sudah familier dengan data berapa persen remaja yang pernah melihat film cabul, berapa banyak remaja berhubungan intim sebelum menikah, betapa larisnya kondom saat masa-masa liburan. Semua itu bukan omong kosong. Fakta itu merupakan sirene peringatan keras bagi kita para orang tua, para pendidik, para ulama dan seluruh umat Islam bahwa kerusakan moral saat ini bukan teori lagi. Pergaulan bebas bukan sekedar retorika. Kerusakan zaman sudah di depan mata.

Pengaruh buruk lingkungan benar-benar telah menggurita. Pergaulan bebas sudah tidak terkendali. Saat ini tidak satu institusi-pun yang dapat dipercaya sebagai penjaga akhlak generasi muda. Saat melepas anak kita dalam pergaulan masyarakat itu sama artinya membuang anak turun kita ke kandang singa yang jangan diharapkan keselamatannya.

Soal mendidik anak, sejak dulu hanya satu lembaga yang saya percaya yaitu Pondok Pesantren. Pondok Pesantren adalah benteng terakhir penjaga akhlak umat. Pondok pesantren adalah tempat paling efektif membangun kefahaman agama generasi muda secara sempurna. Dalam pondok pesantren lahirlah kader-kader militan yang menjadi ujung tombak penyebaran dakwah Islam. Hingga saat ini saya masih menaruh harapan besar agar semua pondok pesantren menjadi lembaga terpadu dunia akhirat. Generasi harapan bangsa bisa menjadi ulama tanpa harus meninggalkan bangku sekolah.

Tahun ini adalah ketiga kalinya saya mendaftarkan anak saya di Pondok Gadingmangu Perak Jombang sekaligus sekolah di SMP Budi Utomo. Namun tahun ini saya sangat terkejut bercampur kecewa karena pada hari keempat pendaftaran kapasitas pondok telah penuh. Ternyata saya tidak sendirian, ratusan jamaah terpaksa harus pulang menangis karena tidak kebagian bangku sekolah dan merasa kehilangan harapannya. Mereka adalah para jamaah dari jauh yang ingin menjadikan anak-anaknya generasi harapan yang dapat mengangkat derajat orang tua di dunia maupun di akhirat, dengan mempertaruhkan / menjual segala properti yang mereka miliki. Mereka adalah orang tua yang berkeyakinan sama dengan saya, tidak ingin membuang anaknya ke kandang singa.

Sekali lagi LDII telah terlambat mengantisipasi pertumbuhan jamaahnya. Usaha gencar amar ma’ruf, pengajian dan nasehat ternyata tidak diimbangi upaya penyedian sarana dan prasarana yang memadai bagi jamaahnya. Saat malam sepi saya termenung, untuk apa kita mendirikan menara yang megah senilai hampir 16 milyar bila dasar pendidikan generasi muda kita masih pontang panting. Apa gunanya terus mencari pengakuan sementara sendi pembinaan generus kita masih keropos. Bagaimana mungkin LDII yang mempunyai ribuan mubaligh ratusan ulama dan ribuan ahli pendidik bisa kedodoran pada bidang yang paling fundamental ini, PENDIDIKAN GENERASI MUDA.

Kini saatnya bagi setiap pengambil putusan untuk lebih serius mencurahkan perhatian dan lebih besar mengalokasikan segala sumber daya pada pembentukan akhlak generasi muda. Dan sudah waktunya bagi para pengurus, ulama dan segenap jamaah Muslim untuk menabuh genderang perang terhadap segala bentuk kemaksiatan dan kerusakan moral di muka bumi ini.

Tawaran Sex di Facebook

ditulis oleh : Budi Waluyo, ST
Mungkin anda bertanya-tanya atau geli membaca judul tulisan ini. Tapi ini serius, saya pernah ditawari bermain sex di Facebook oleh seorang gadis usia kelas 2 SMP. Anda akan lebih terkejut kalau saya sampaikan bahwa gadis itu mengaku sudah biasa ganti-ganti pasangan dan tidak jarang melakukan pesta sex atau sex secara rame-rame. MasyaAlloh. Seorang ABG yang masih bau kencur sudah kecanduan sex. Nauzubillahi minzalik.

Selama ini kita sudah familier dengan data berapa persen remaja yang pernah melihat film cabul, berapa banyak remaja berhubungan intim sebelum menikah, betapa larisnya kondom saat masa-masa liburan. Semua itu bukan omong kosong. Fakta itu merupakan sirene peringatan keras bagi kita para orang tua, para pendidik, para ulama dan seluruh umat Islam bahwa kerusakan moral saat ini bukan teori lagi. Pergaulan bebas bukan sekedar retorika. Kerusakan zaman sudah di depan mata.

Pengaruh buruk lingkungan benar-benar telah menggurita. Pergaulan bebas sudah tidak terkendali. Saat ini tidak satu institusi-pun yang dapat dipercaya sebagai penjaga akhlak generasi muda. Saat melepas anak kita dalam pergaulan masyarakat itu sama artinya membuang anak turun kita ke kandang singa yang jangan diharapkan keselamatannya.

Soal mendidik anak, sejak dulu hanya satu lembaga yang saya percaya yaitu Pondok Pesantren. Pondok Pesantren adalah benteng terakhir penjaga akhlak umat. Pondok pesantren adalah tempat paling efektif membangun kefahaman agama generasi muda secara sempurna. Dalam pondok pesantren lahirlah kader-kader militan yang menjadi ujung tombak penyebaran dakwah Islam. Hingga saat ini saya masih menaruh harapan besar agar semua pondok pesantren menjadi lembaga terpadu dunia akhirat. Generasi harapan bangsa bisa menjadi ulama tanpa harus meninggalkan bangku sekolah.

Tahun ini adalah ketiga kalinya saya mendaftarkan anak saya di Pondok Gadingmangu Perak Jombang sekaligus sekolah di SMP Budi Utomo. Namun tahun ini saya sangat terkejut bercampur kecewa karena pada hari keempat pendaftaran kapasitas pondok telah penuh. Ternyata saya tidak sendirian, ratusan jamaah terpaksa harus pulang menangis karena tidak kebagian bangku sekolah dan merasa kehilangan harapannya. Mereka adalah para jamaah dari jauh yang ingin menjadikan anak-anaknya generasi harapan yang dapat mengangkat derajat orang tua di dunia maupun di akhirat, dengan mempertaruhkan / menjual segala properti yang mereka miliki. Mereka adalah orang tua yang berkeyakinan sama dengan saya, tidak ingin membuang anaknya ke kandang singa.

Sekali lagi LDII telah terlambat mengantisipasi pertumbuhan jamaahnya. Usaha gencar amar ma’ruf, pengajian dan nasehat ternyata tidak diimbangi upaya penyedian sarana dan prasarana yang memadai bagi jamaahnya. Saat malam sepi saya termenung, untuk apa kita mendirikan menara yang megah senilai hampir 16 milyar bila dasar pendidikan generasi muda kita masih pontang panting. Apa gunanya terus mencari pengakuan sementara sendi pembinaan generus kita masih keropos. Bagaimana mungkin LDII yang mempunyai ribuan mubaligh ratusan ulama dan ribuan ahli pendidik bisa kedodoran pada bidang yang paling fundamental ini, PENDIDIKAN GENERASI MUDA.

Kini saatnya bagi setiap pengambil putusan untuk lebih serius mencurahkan perhatian dan lebih besar mengalokasikan segala sumber daya pada pembentukan akhlak generasi muda. Dan sudah waktunya bagi para pengurus, ulama dan segenap jamaah Muslim untuk menabuh genderang perang terhadap segala bentuk kemaksiatan dan kerusakan moral di muka bumi ini.