Motto

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ* القران سورة آل عمران ١٠٤
“Dan jadilah kamu sekalian bagian dari umat yang menyerukan kebajikan dan mengajak yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung [Quran Surat Ali Imron, ayat 104]

News

Selasa, 17 April 2012

Kontroversi Poligami dan Nikah Sirri

Dikutip dari Situs Majelis Ulama Indonesia (mui.or.id)
MUI|LDII Sidoarjo - Nikah sirri adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah sirri hukumnya sah dan halal sepanjang dipenuhinya syarat-syarat dan rukun nikah yaitu ada maskawin, wali, saksi dan ijab. Nikah sirri kebanyakan dilakukan oleh pasangan yang berpoligami yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu. Merebaknya nikah siri dikarenakan Undang-undang Negara yang tidak mendukung syariat Islam yaitu adanya larangan berpoligami di Indonesia ini.

Perkawinan sirri menuntut komitmen tanggung jawab yang besar dari pihak suami. Suami yang mengabaikan kewajibannya dalam kawin sirri akan sangat merugikan pihak perempuan atau istri. Beberapa rekomendasi tentang nikah sirri telah diajukan oleh Majelis Ulama Indonesia antara lain memberikan perlindungan kepada wanita nikah sirri dengan memberikan sangsi yang sepadan kepada suami-suami yang menelantarkan istri, anak atau keluarga. Peninjauan terhadap undang-undang anti poligami juga menjadi pertimbangan.

Perbincangan tentang nikah sirri belakangan mencuat ke permukaan sehubungan dengan munculnya wacana bahwa nikah sirri itu haram, misalnya dalam draft RUU Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Jika benar nikah sirri diharamkan --apalagi kemudian dipidanakan dalam ranah hukum positif Indonesia--dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Masyarakat akan mempertanyakan, bagaimana orang yang jelas-jelas berzina hanya diancam hukuman 3 bulan penjara sedangkan yang melakukan nikah sirri diancam 6 bulan penjara atau denda 6 juta rupiah.

Maka wajarlah kalau beberapa kalangan mengharapkan hadirnya kejelasan atau kepastian, boleh tidaknya nikah sirri itu, baik dalam ranah hukum Islam maupun hukum positif Indoenesia. Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang hal ikhwal nikah sirri tersebut Elvi Huddhriyah dari Redaksi Mimbar Ulama mewawancarai KH. Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia yang membidangi fatwa. Berikut petikan wawancaranya:

Elvi Huddhriyah : Mohon dijelaskan apa yang dimaksud dengan Nikah Sirri itu ?
KH. Ma’ruf Amin : Sebenarnya Nikah Sirri itu ada 2 pengertian :
  1. Nikah berdua saja , yaitu tidak ada saksi dan wali. Yang seperti ini sudah jelas haram dan tidak sah. Nikah sirri yang dipahami oleh masyarakat adalah nikah di bawah tangan, yang tidak dicatat oleh KUA. Kalau dalam pengertian ini kita sebagai MUI sudah melakukan pembahasan yang isinya bahwa nikah sirri sepanjang dipenuhi syarat hukum pernikahan itu sah.
  2. Nikah sirri itu bisa haram apabila ada perlakuan yang merugikan istri atau anak yang ditelantarkan karena mereka tidak memiliki landasan untuk melakukan gugatan untuk melindungi dirinya karena tidak tercatat. Karena itu MUI merekomendasikan supaya nikah sirri itu dicatatkan, sehingga tidak ada korban istri maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
     
Elvi Huddhriyah : Kalau begitu namanya bukan nikah sirri lagi dong?
KH. Ma’ruf Amin : Artinya nikah sirri itu nikah yang tidak dicatatkan. Tetapi kalau kemudian diproses di KUA untuk dicatat, ya namanya tidak nikah sirri lagi.
     
Elvi Huddhriyah : Kalau di dalam hukum Islam sendiri, apakah nikah sirri itu hak-haknya sama atau tidak dengan mereka yang tercatat di KUA.
KH. Ma’ruf Amin : Seharusnya kalau menurut syariat, istri dan anak itu ‘kan ada (hak-haknya. Red.). Tetapi kalau nikahnya tidak dicatat, maka kemudian dia tidak mempunyai dasar untuk meminta haknya itu. Artinya kalau si suami memenuhi haknya, itu sesuatu yang menjadi kepatuhan suami saja. Tetapi kalau si suami menelantarkan, maka si anak dan istri itu tidak punya dasar untuk mengklaim haknya. Jadi tidak terlindungi hak-haknya kalau melakukan nikah sirri
     
Elvi  Huddhriyah : Kalau dari sisi wanita, apa saja kerugian baginya jika melakukan nikah sirri, walaupun pada sisi lain ada wanita yang merasa enjoy saja melakukan nikah sirri?
KH. Ma’ruf Amin : Kerugiannya antara lain tidak diberikan haknya, tidak dinafkahi dan tidak bisa menggugat. Artinya ketika dia dicerai, dia tidak bisa menuntut apa-apa karena tidak punya surat nikah, dan ketika suaminya meninggal dia juga tidak bisa mengklaim untuk memperoleh haknya itu. Artinya tergantung kebaikan suami dan keluarganya. Jadi tidak memiliki hak apa-apa, Nah inilah yang menjadi persoalan terhadap nikah sirri. Sekarang ini, jika orang menuntut sesuatu ‘kan harus ada bukti, dan bukti itu harus tertulis, tercatat, terdaftar. Jadi itulah persoalannya. Ini sebenarnya yang dipikirkan kemaslahatannya oleh para ulama, oleh para pembela wanita. Tetapi memang banyak wanita yang merasa enak saja dan suka (menjalani nikah sirri). Juga banyak tokoh yang menganggap ini sesuatu yang sah dan sudah dilakukan. Ini banyak juga yang dilakukan oleh ulama. Mereka menganggap mereka memenuhi hak-haknya.
     
Elvi  Huddhriyah : Sebenarnya apa yang mendorong mereka melakukan nikah sirri?
KH. Ma’ruf Amin : Karena adanya larangan berpoligami, kecuali dengan ijin tertulis dari istri. Sebenarnya izin tertulis itu bisa diperoleh kalau istrinya mau, atau melalui pengadilan. Akan tetapi orang akan merasa tidak nyaman. ‘Kan kalau dari istrinya tidak mungkin dapat (ijin), sementara kalau dia mengurus ke pengadilan merasa tidak nyaman dan agak sulit. Nah itulah sebabnya mengapa orang melakukan nikah sirri.
     
Elvi Huddhriyah : Kalau mereka yang karena alasan biaya bagaimana, Pak? Bagaimana upaya pemerintah?
KH. Ma’ruf Amin : Kalau biaya tidak menjadi masalah. Dia ingin --kalau menurut saya-- utamanya adalah memiliki istri lebih dari satu. Itulah masalahnya.
     
Elvi Huddhriyah : Dari segi syariat, jika memenuhi syarat dan rukunnya ‘kan ini sah. Tapi bagaimana dengan dampaknya, misalnya banyaknya anak-anak dan perempuan (isteri) yang telantar? Bukankah mereka dirugikan?
KH. Ma’ruf Amin : Justru itu harus dilindungi
     
Elvi Huddhriyah : Caranya, Pak?
KH. Ma’ruf Amin : Caranya itu ketika orang melakukan nikah sirri ‘kan ada 2 pemikiran. Ada yang diberikan sanksi dipidanakan, kemudian mendapat reaksi. Mengapa? Ada kesan nikah sirrinya itu dilarang, diharamkan, dianggap haram lalu dipidanakan. Ini akan mendapat reaksi. Tetapi kalau tidak ada sanksi tentu banyak korban.
     
Elvi Huddhriyah : Bapak setuju tidak dengan sanksi pidana itu?
KH. Ma’ruf Amin : Masalahnya ini ‘kan sesuatu yang sah, legal dan halal kemudian kok dipidanakan. Mestinya yang dipidanakan itu ketika orang menelantarkan anak istrinya. Jadi bukan pada nikah sirrinya. Inilah yang menjadi tuntutan Majelis Ulama.
     
Elvi Huddhriyah : Bapak sendiri setuju atau tidak dengan ancaman pidana 6 bulan penjara seperti yang ada pada draft rancangan RUU?
KH. Ma’ruf Amin : Saya kira kita harus bicarakan. (Sekali lagi) yang harus dipidanakan itu adalah perbuatan menelantarkan anak isteri. Jadi bukan nikah sirinya.
     
Elvi Huddhriyah : Ada lagi yang menarik, Pak! Ancaman hukuman pelaku nikah sirri lebih berat daripada hukuman pelaku perzinahan. Kalau kita lihat dari pasal 143 disebutkan pelaku nikah sirri didenda 6 juta rupiah atau kurungan 6 bulan, sedangkan pelaku perzinahan yang menghamili perempuan yang belum menikah hanya dipidana 3 bulan penjara.
KH. Ma’ruf Amin : Justru itu harus dibicarakan, supaya hukum itu berkeadilan. Yang pertama jangan nikah sirrinya yang dipidanakan tetapi dikarenakan menelantarkan anak isteri. Yang ke-2 jangan sampai pelaku nikah sirri yang menelantarkan anak isteri itu lebih berat dari perzinahan.
     
Elvi Huddhriyah : Bagaimana menurut pendapat Bapak jika ada yang mengatakan karena akibat nikah sirri banyak anak yang ditelantarkan ?
KH. Ma’ruf Amin : Tidak! Tidak semua pelaku nikah sirri menelantarkan anak. Artinya kalau orang nikah sirri dan anak isterinya tidak terlantar dan dipenuhi hak-haknya, maka tidak ada masalah. Karena itu bukan pada perbuatan nikah sirrinya tapi pada penelantarannya, baru kemudian dibicarakan pidananya atau hukumannya seperti apa.
     
Elvi Huddhriyah : Sanksi apa yang pantas menurut Bapak dari MUI?
KH. Ma’ruf Amin : Ya kita memang belum membicarakan. Tapi itu memang perlu, supaya ada perlindungan. Sudah ada 2 yang direkomendasikan. Pertama, agar diproses pencatatan bagi pelaku nikah sirri. Yang kedua, yang menelantarkan diberikan hukuman. Ketika proses pencatatan pasti ada persoalan baru, yaitu harus ada surat izin dari isteri pertama. Kalau tidak diproses itu artinya melanggar undang-undang. Nah tentu harus ada pengaturan, sanksinya saya kira harus dibicarakan lebih dalam karena banyak menyangkut kepentingan banyak pihak. Jangan sampai itu dianggap hukuman yang tidak adil terlalu berat atau terlalu ringan.
     
Elvi Huddhriyah : Apa saran Bapak kepada masyarakat yang akan melakukan pernikahan sirri?
KH. Ma’ruf Amin : Sebaiknya hindari melakukan pernikahan sirri, sebab nikah sirri berpotensi pada pelanggaran hukum.
     
Elvi Huddhriyah : Jaman Rasulullah juga ‘kan tanpa pencatatan. Bagaimana menurut Bapak?
KH. Ma’ruf Amin : Oh ya. Jaman dulu tidak ada pencatatan. Jaman Rasulullah itu orangnya jujur-jujur. Pencatatan itu ada setelah banyak orang yang melanggar, menelantarkan misalnya. Maka dibuatlah aturan pencatatan sehingga orang punya surat nikah.
     
Elvi Huddhriyah : Apa masukan MUI kepada Pemerintah dalam rangka menertibkan kembali mereka yang ingin menikah?
KH. Ma’ruf Amin : Ada banyak usulan pernikahan agar menjadi resmi, memberikan sanksi kepada suami yang menelantarkan anak dan isteri, meninjau larangan poligami, dan lain-lain. Namun saya banyak bertanya pada kaum ibu, ternyata mereka keberatan.
     
Elvi Huddhriyah : Tapi banyak juga ‘kan, Pak, para ulama yang melakukan poligami?
KH. Ma’ruf Amin : Ya memang. Tapi tidak semua kyai atau ulama. Artinya, benar ada beberapa kyai (berpoligami), karena kyai punya potensi untuk tidak cukup memiliki satu isteri seperti juga yang lain. Nah, maka dari itu banyak kyai yang menentang larangan poligami. Malah kalau di Madura banyak kyai punya isteri lebih dari satu dengan jalan nikah siri.

Sumber: mui.or.id

Kontroversi Poligami dan Nikah Sirri

Dikutip dari Situs Majelis Ulama Indonesia (mui.or.id)
MUI|LDII Sidoarjo - Nikah sirri adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah sirri hukumnya sah dan halal sepanjang dipenuhinya syarat-syarat dan rukun nikah yaitu ada maskawin, wali, saksi dan ijab. Nikah sirri kebanyakan dilakukan oleh pasangan yang berpoligami yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu. Merebaknya nikah siri dikarenakan Undang-undang Negara yang tidak mendukung syariat Islam yaitu adanya larangan berpoligami di Indonesia ini.

Perkawinan sirri menuntut komitmen tanggung jawab yang besar dari pihak suami. Suami yang mengabaikan kewajibannya dalam kawin sirri akan sangat merugikan pihak perempuan atau istri. Beberapa rekomendasi tentang nikah sirri telah diajukan oleh Majelis Ulama Indonesia antara lain memberikan perlindungan kepada wanita nikah sirri dengan memberikan sangsi yang sepadan kepada suami-suami yang menelantarkan istri, anak atau keluarga. Peninjauan terhadap undang-undang anti poligami juga menjadi pertimbangan.

Perbincangan tentang nikah sirri belakangan mencuat ke permukaan sehubungan dengan munculnya wacana bahwa nikah sirri itu haram, misalnya dalam draft RUU Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Jika benar nikah sirri diharamkan --apalagi kemudian dipidanakan dalam ranah hukum positif Indonesia--dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Masyarakat akan mempertanyakan, bagaimana orang yang jelas-jelas berzina hanya diancam hukuman 3 bulan penjara sedangkan yang melakukan nikah sirri diancam 6 bulan penjara atau denda 6 juta rupiah.

Maka wajarlah kalau beberapa kalangan mengharapkan hadirnya kejelasan atau kepastian, boleh tidaknya nikah sirri itu, baik dalam ranah hukum Islam maupun hukum positif Indoenesia. Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang hal ikhwal nikah sirri tersebut Elvi Huddhriyah dari Redaksi Mimbar Ulama mewawancarai KH. Ma’ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia yang membidangi fatwa. Berikut petikan wawancaranya:

Elvi Huddhriyah : Mohon dijelaskan apa yang dimaksud dengan Nikah Sirri itu ?
KH. Ma’ruf Amin : Sebenarnya Nikah Sirri itu ada 2 pengertian :
  1. Nikah berdua saja , yaitu tidak ada saksi dan wali. Yang seperti ini sudah jelas haram dan tidak sah. Nikah sirri yang dipahami oleh masyarakat adalah nikah di bawah tangan, yang tidak dicatat oleh KUA. Kalau dalam pengertian ini kita sebagai MUI sudah melakukan pembahasan yang isinya bahwa nikah sirri sepanjang dipenuhi syarat hukum pernikahan itu sah.
  2. Nikah sirri itu bisa haram apabila ada perlakuan yang merugikan istri atau anak yang ditelantarkan karena mereka tidak memiliki landasan untuk melakukan gugatan untuk melindungi dirinya karena tidak tercatat. Karena itu MUI merekomendasikan supaya nikah sirri itu dicatatkan, sehingga tidak ada korban istri maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
     
Elvi Huddhriyah : Kalau begitu namanya bukan nikah sirri lagi dong?
KH. Ma’ruf Amin : Artinya nikah sirri itu nikah yang tidak dicatatkan. Tetapi kalau kemudian diproses di KUA untuk dicatat, ya namanya tidak nikah sirri lagi.
     
Elvi Huddhriyah : Kalau di dalam hukum Islam sendiri, apakah nikah sirri itu hak-haknya sama atau tidak dengan mereka yang tercatat di KUA.
KH. Ma’ruf Amin : Seharusnya kalau menurut syariat, istri dan anak itu ‘kan ada (hak-haknya. Red.). Tetapi kalau nikahnya tidak dicatat, maka kemudian dia tidak mempunyai dasar untuk meminta haknya itu. Artinya kalau si suami memenuhi haknya, itu sesuatu yang menjadi kepatuhan suami saja. Tetapi kalau si suami menelantarkan, maka si anak dan istri itu tidak punya dasar untuk mengklaim haknya. Jadi tidak terlindungi hak-haknya kalau melakukan nikah sirri
     
Elvi  Huddhriyah : Kalau dari sisi wanita, apa saja kerugian baginya jika melakukan nikah sirri, walaupun pada sisi lain ada wanita yang merasa enjoy saja melakukan nikah sirri?
KH. Ma’ruf Amin : Kerugiannya antara lain tidak diberikan haknya, tidak dinafkahi dan tidak bisa menggugat. Artinya ketika dia dicerai, dia tidak bisa menuntut apa-apa karena tidak punya surat nikah, dan ketika suaminya meninggal dia juga tidak bisa mengklaim untuk memperoleh haknya itu. Artinya tergantung kebaikan suami dan keluarganya. Jadi tidak memiliki hak apa-apa, Nah inilah yang menjadi persoalan terhadap nikah sirri. Sekarang ini, jika orang menuntut sesuatu ‘kan harus ada bukti, dan bukti itu harus tertulis, tercatat, terdaftar. Jadi itulah persoalannya. Ini sebenarnya yang dipikirkan kemaslahatannya oleh para ulama, oleh para pembela wanita. Tetapi memang banyak wanita yang merasa enak saja dan suka (menjalani nikah sirri). Juga banyak tokoh yang menganggap ini sesuatu yang sah dan sudah dilakukan. Ini banyak juga yang dilakukan oleh ulama. Mereka menganggap mereka memenuhi hak-haknya.
     
Elvi  Huddhriyah : Sebenarnya apa yang mendorong mereka melakukan nikah sirri?
KH. Ma’ruf Amin : Karena adanya larangan berpoligami, kecuali dengan ijin tertulis dari istri. Sebenarnya izin tertulis itu bisa diperoleh kalau istrinya mau, atau melalui pengadilan. Akan tetapi orang akan merasa tidak nyaman. ‘Kan kalau dari istrinya tidak mungkin dapat (ijin), sementara kalau dia mengurus ke pengadilan merasa tidak nyaman dan agak sulit. Nah itulah sebabnya mengapa orang melakukan nikah sirri.
     
Elvi Huddhriyah : Kalau mereka yang karena alasan biaya bagaimana, Pak? Bagaimana upaya pemerintah?
KH. Ma’ruf Amin : Kalau biaya tidak menjadi masalah. Dia ingin --kalau menurut saya-- utamanya adalah memiliki istri lebih dari satu. Itulah masalahnya.
     
Elvi Huddhriyah : Dari segi syariat, jika memenuhi syarat dan rukunnya ‘kan ini sah. Tapi bagaimana dengan dampaknya, misalnya banyaknya anak-anak dan perempuan (isteri) yang telantar? Bukankah mereka dirugikan?
KH. Ma’ruf Amin : Justru itu harus dilindungi
     
Elvi Huddhriyah : Caranya, Pak?
KH. Ma’ruf Amin : Caranya itu ketika orang melakukan nikah sirri ‘kan ada 2 pemikiran. Ada yang diberikan sanksi dipidanakan, kemudian mendapat reaksi. Mengapa? Ada kesan nikah sirrinya itu dilarang, diharamkan, dianggap haram lalu dipidanakan. Ini akan mendapat reaksi. Tetapi kalau tidak ada sanksi tentu banyak korban.
     
Elvi Huddhriyah : Bapak setuju tidak dengan sanksi pidana itu?
KH. Ma’ruf Amin : Masalahnya ini ‘kan sesuatu yang sah, legal dan halal kemudian kok dipidanakan. Mestinya yang dipidanakan itu ketika orang menelantarkan anak istrinya. Jadi bukan pada nikah sirrinya. Inilah yang menjadi tuntutan Majelis Ulama.
     
Elvi Huddhriyah : Bapak sendiri setuju atau tidak dengan ancaman pidana 6 bulan penjara seperti yang ada pada draft rancangan RUU?
KH. Ma’ruf Amin : Saya kira kita harus bicarakan. (Sekali lagi) yang harus dipidanakan itu adalah perbuatan menelantarkan anak isteri. Jadi bukan nikah sirinya.
     
Elvi Huddhriyah : Ada lagi yang menarik, Pak! Ancaman hukuman pelaku nikah sirri lebih berat daripada hukuman pelaku perzinahan. Kalau kita lihat dari pasal 143 disebutkan pelaku nikah sirri didenda 6 juta rupiah atau kurungan 6 bulan, sedangkan pelaku perzinahan yang menghamili perempuan yang belum menikah hanya dipidana 3 bulan penjara.
KH. Ma’ruf Amin : Justru itu harus dibicarakan, supaya hukum itu berkeadilan. Yang pertama jangan nikah sirrinya yang dipidanakan tetapi dikarenakan menelantarkan anak isteri. Yang ke-2 jangan sampai pelaku nikah sirri yang menelantarkan anak isteri itu lebih berat dari perzinahan.
     
Elvi Huddhriyah : Bagaimana menurut pendapat Bapak jika ada yang mengatakan karena akibat nikah sirri banyak anak yang ditelantarkan ?
KH. Ma’ruf Amin : Tidak! Tidak semua pelaku nikah sirri menelantarkan anak. Artinya kalau orang nikah sirri dan anak isterinya tidak terlantar dan dipenuhi hak-haknya, maka tidak ada masalah. Karena itu bukan pada perbuatan nikah sirrinya tapi pada penelantarannya, baru kemudian dibicarakan pidananya atau hukumannya seperti apa.
     
Elvi Huddhriyah : Sanksi apa yang pantas menurut Bapak dari MUI?
KH. Ma’ruf Amin : Ya kita memang belum membicarakan. Tapi itu memang perlu, supaya ada perlindungan. Sudah ada 2 yang direkomendasikan. Pertama, agar diproses pencatatan bagi pelaku nikah sirri. Yang kedua, yang menelantarkan diberikan hukuman. Ketika proses pencatatan pasti ada persoalan baru, yaitu harus ada surat izin dari isteri pertama. Kalau tidak diproses itu artinya melanggar undang-undang. Nah tentu harus ada pengaturan, sanksinya saya kira harus dibicarakan lebih dalam karena banyak menyangkut kepentingan banyak pihak. Jangan sampai itu dianggap hukuman yang tidak adil terlalu berat atau terlalu ringan.
     
Elvi Huddhriyah : Apa saran Bapak kepada masyarakat yang akan melakukan pernikahan sirri?
KH. Ma’ruf Amin : Sebaiknya hindari melakukan pernikahan sirri, sebab nikah sirri berpotensi pada pelanggaran hukum.
     
Elvi Huddhriyah : Jaman Rasulullah juga ‘kan tanpa pencatatan. Bagaimana menurut Bapak?
KH. Ma’ruf Amin : Oh ya. Jaman dulu tidak ada pencatatan. Jaman Rasulullah itu orangnya jujur-jujur. Pencatatan itu ada setelah banyak orang yang melanggar, menelantarkan misalnya. Maka dibuatlah aturan pencatatan sehingga orang punya surat nikah.
     
Elvi Huddhriyah : Apa masukan MUI kepada Pemerintah dalam rangka menertibkan kembali mereka yang ingin menikah?
KH. Ma’ruf Amin : Ada banyak usulan pernikahan agar menjadi resmi, memberikan sanksi kepada suami yang menelantarkan anak dan isteri, meninjau larangan poligami, dan lain-lain. Namun saya banyak bertanya pada kaum ibu, ternyata mereka keberatan.
     
Elvi Huddhriyah : Tapi banyak juga ‘kan, Pak, para ulama yang melakukan poligami?
KH. Ma’ruf Amin : Ya memang. Tapi tidak semua kyai atau ulama. Artinya, benar ada beberapa kyai (berpoligami), karena kyai punya potensi untuk tidak cukup memiliki satu isteri seperti juga yang lain. Nah, maka dari itu banyak kyai yang menentang larangan poligami. Malah kalau di Madura banyak kyai punya isteri lebih dari satu dengan jalan nikah siri.

Sumber: mui.or.id