Pada zaman Nabi Muhammad
SAW, seorang sahabat mendapat amanat sebuah jabatan, kata yang keluar
“innalillah”. Namun, pada zaman sekarang orang mendapat jabatan, terlebih
sebagai pemimpin, kata yang keluar “alhamdulillah”. Padahal, setiap pemimpin
akan dimintai pertanggungjawabannya. Bukan hanya di dunia, tapi juga di
akhirat.
BAGAIMANA sesungguhnya
memilih pemimpin menurut Islam? Menurut berbagai sumber, memilih pemimpin ala Islam
ada tata caranya tersendiri.
Disebutkan, dalam pemilihan seorang pemimpin, ada tiga golongan manusia yang terlibat:
(1) Calon Pemimpin yang memenuhi
syarat,
(2) Anggota pemilih
yang disebut ‘Ahl al-Hal wa al-’aqd‘,
(3) Serta orang Muslim
kebanyakan.
Adapun
syarat-syarat menjadi anggota ‘Ahl al-Hal wa al-’aqd’ agar layak memilih
pemimpin adalah:
(1) Adil, sebagaimana sifat adil yang diperlukan pada Pemimpin.
(2) Berilmu, yaitu memiliki ilmu yang membuatnya mampu menilai calon
yang layak memegang jabatan ketua negara.
(3) Bijaksana, yaitu mampu memilih
calon yang terbaik untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.
Tugas
anggota ‘Ahl al-Hal wa al-’aqd’ adalah memilih dan menentukan calon yang layak
untuk jabatan ketua negara. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah anggota
pemilih tersebut.
Tidak sah
menjadi calon pemimpin apabila tidak disetujui oleh semua anggota pemilih dari
setiap negeri. Alasannya supaya persetujuan tersebut berlaku secara keseluruhan
dan penyerahan kekuasaan kepada calon pemimpin tersebut berlaku secara ijmak.
Namun, pendapat ini bertentangan dengan kasus pemilihan Khalifah Abu Bakar,
dimana beliau telah dipilih oleh anggota yang hadir saja.
Jumlah minimum anggota pemilih adalah lima orang dan
semuanya setuju dengan pemilihan tersebut. Atau hanya seorang saja yang
membuat pilihan. Sedangkan yang lainnya tinggal menyatakan setuju dengan
pilihan orang pertama.
Pemilihan dilakukan oleh tiga anggota saja, dimana seorang
akan memilih dan yang lainnya tinggal menyetujui saja. Mereka dianggap sebagai
seorang Hakim dan dua orang saksi.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan calon
khalifah cukup dibuat oleh satu orang saja. Setelah anggota pemilihan memilih
calon-calon pemimpin, maka diperlukan persetujuan terbuka dari mayoritas umat.
Kalau ini tidak dilakukan maka akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat.
Pemilihan pemimpin menurut Islam tidak selamanya melalui
pemilihan umum seperti yang telah dijelaskan di atas. Peralihan pemimpin bisa terjadi dengan beberapa
tata cara.
Pertama, menyerahkan kekuasaannya kepada
penggantinya sebelum dia meninggal. Sebagian ahli fiqh menerima cara ini dengan
bersandarkan kepada Abu Bakar yang menyerahkan kekuasaannya kepada Umar dan
juga ketika Umar menyerahkan kekuasaannya kepada anggota ahli syura. Peralihan
kekuasaan ini dianggap ijmak.
Kedua, peralihan kekuasaan dalam bentuk warisan apabila
terjadi dalam negara yang berbentuk kerajaan. Pemindahan kekuasaan dengan cara
ini dinggap sah oleh para ulama. Contohnya apa yang terjadi di negara Arab
Saudi atau Brunai Darussalam. Masalah rakyat akan makmur dengan cara ini, itu
cerita lain. Kalau kebetulan rajanya adil, maka rakyatnya menjadi senang.
Sebaliknya kalau rajanya zalim, maka rakyat tidak bisa berkata apa-apa.
Ketiga, apabila kekuasaan negara dipegang
oleh orang yang memiliki kekuatan dan fasiq sehingga mengangkat dirinya sebagai
ketua negara. Menurut Abu Ya’ala al-Fara, pemimpin tersebut adalah sah tapi
dikira sebagai keadaan darurat. Menurut Imam al-Ghazali, barang siapa yang
melantiknya, maka pemerintahannya adalah sah, sebagaimana sahnya pemerintahan
orang yang zalim (bughat).
Keadaan
tersebut terjadi apabila negara diambil alih oleh seseorang yang mempunyai
kekuatan yang sangat besar, misalnya mampu mengendalikan militer di negara
tersebut. Jadi apabila orang tersebut mengangkat dirinya sebagai pemimpin, maka
pemerintahannya adalah sah, walaupun pemerintahan yang terbentuk adalah
pemerintahan yang zalim dan fasiq. Kalau mau menggantikan diktator
tersebut, pastikan supaya memiliki kekuatan yang memadai. Kalau tidak, proses
penggantian diktator yang gagal ini juga akan merugikan masyarakat awam.
Pemimpin adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara.
Jika pemimpin negara itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan
makmur. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi
rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.
Oleh karena itu,
Islam memberikan pedoman dalam memilih pemimpin yang baik. Dalam Alquran, Allah
SWT memerintahkan umat Islam untuk memilih pemimpin yang baik dan beriman.
“Kabarkanlah
kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. “
(An Nisaa 4:138-139)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada oarng-orang yang zalim " (QS. Al-Maidah: 51)
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika
mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu
menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim" (At Taubah:23)
"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman atau pelindung) selain orang iman, ....." (An Nisaa:144)
"Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir jadi pemimpin, bukan orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun..." (Ali Imran:28)
Harus
Adil dan Jujur
Selain beriman, seorang pemimpin juga harus adil.
Selain beriman, seorang pemimpin juga harus adil.
عَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: " §سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ: الإِمَامُ العَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ، أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ " رواه البخارى
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “ada tujuh golongan manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah):
1. Pemimpin yang adil.
2. Pemuda yang terus-menerus hidup dalam beribadah kepada Allah.
3. Seorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid.
4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah pun karena Allah.
5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia menjawab “sesungguhnya aku takut kepada Allah”.
6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.
7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullâh) di waktu sendirian, hingga melelehkan air matanya.
(HR.
Bukhari dan Muslim)
“Hai
orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan
janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
itu lebih dekat dengan taqwa…” (Q.s. Al-Maidah 5: 8)
Keadilan yang diserukan Alquran pada dasarnya mencakup keadilan di bidang ekonomi, sosial, dan terlebih lagi, dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama di depan hukum, tanpa pandang bulu.
Keadilan yang diserukan Alquran pada dasarnya mencakup keadilan di bidang ekonomi, sosial, dan terlebih lagi, dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama di depan hukum, tanpa pandang bulu.
Hal inilah
yang telah diperintahkan Alquran dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika
bertekad untuk menegakkan hukum (dalam konteks pencurian), walaupun pelakunya
adalah putri beliau sendiri, Fatimah, misalnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya”. (Qs. An-Nisa; 4: 135)
عَنْ
عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّتْهُمُ المَرْأَةُ
المَخْزُومِيَّةُ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلا أُسَامَةُ بْنُ
زَيْدٍ، حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ r َ، فَكَلَّمَ رَسُولَ اللَّهِ r ، فَقَالَ: «§أَتَشْفَعُ
فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ» ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ، قَالَ: «يَا أَيُّهَا
النَّاسُ، إِنَّمَا ضَلَّ مَنْ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا سَرَقَ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ الضَّعِيفُ فِيهِمْ أَقَامُوا عَلَيْهِ الحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَرَقَتْ لَقَطَعَ
مُحَمَّدٌ يَدَهَا» رواه البخارى
Dalam
sebuah kesempatan, ketika seorang perempuan dari suku Makhzum dipotong
tangannya lantaran mencuri, kemudian keluarga perempuan itu meminta Usama bin
Zaid supaya memohon kepada Rasulullah untuk membebaskannya, Rasulullah pun
marah. Beliau bahkan mengingatkan bahwa, kehancuran masyarakat sebelum kita disebabkan
oleh ketidakadilan dalam supremasi hukum seperti itu.
Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: adakah patut engkau memintakan kebebasan dari satu hukuman dari beberapa hukuman (yang diwajibkan) oleh Allah? Kemudian ia berdiri lalu berkhutbah, dan berkata: ‘Hai para manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu itu rusak/binasa dikarenakan apabila orang-orang yang mulia diantara mereka mencuri, mereka bebaskan. Tetapi, apabila orang yang lemah mencuri, mereka berikan kepadanya hukum’. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ahmad, Dariini, dan Ibnu Majah)
“Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia kafir, dan tidak akan melindungi negara yang dzalim (tiran) walaupun ia muslim”. (Mutiara I dr Ali ibn Abi Thalib)
Selanjutnya, pilihlah pemimpin yang
jujur.
أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ، عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ r ، سَمِعْتُ النَّبِيَّ r يَقُولُ: «§مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ» رواه البخارى
Dari Ma’qil ra. Berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadist yang saya dengar dari Rasulullah SAW. Dan saya telah mendengar beliau bersabda: “seseorang yang telah ditugaskan Tuhan untuk memerintah rakyat (pejabat), kalau ia tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau surga”. (HR. Bukhari)
Pilih pemimpin yang mau mencegah dan memberantas kemungkaran seperti korupsi, nepotisme, manipulasi, dll:
فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ: «§مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ» .رواه مسلم
“Barang siapa melihat kemunkaran, maka hendaknya ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Pilih pemimpin yang bisa mempersatukan ummat, bukan yang fanatik terhadap kelompoknya sendiri:
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan dalam Alquran :
“ … Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian, orang-orang Muslim, dari dahulu … .” (QS.
Al Hajj : 78)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil satu hadits yang berbunyi :
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil satu hadits yang berbunyi :
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ r قَالَ: "مَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَإِنَّهُ
مِنْ جِثيّ جَهَنَّمَ". قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ صَامَ
وَصَلَّى؟ قَالَ: "نَعَمْ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى، فَادْعُوَا بِدَعْوَةِ
اللَّهِ الَّتِي سَمَّاكُمْ بِهَا الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ
اللَّهِ"
“Barangsiapa menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah maka
sesungguhnya dia menyeru ke pintu jahanam.” Berkata seseorang : “Ya Rasulullah,
walaupun dia puasa dan salat?” “Ya, walaupun dia puasa dan salat, walaupun dia
mengaku Muslim. Maka menyerulah kalian dengan seruan yang Allah telah
memberikan nama atas kalian, yaitu : Al Muslimin, Al Mukminin, Hamba-Hamba
Allah.” (HR. Ahmad jilid 4/130, 202 dan jilid 5/344)
Amanah, Siddiq, Fathonah, Tabligh
Ada beberapa sifat baik yang harus dimiliki oleh para Nabi, yaitu: Amanah (dapat dipercaya), Siddiq (benar), Fathonah (cerdas/bijaksana), serta Tabligh (berkomunikasi baik dengan rakyatnya). Sifat di atas juga sebaiknya harus dimiliki oleh pemimpin yang kita pilih.
Ada beberapa sifat baik yang harus dimiliki oleh para Nabi, yaitu: Amanah (dapat dipercaya), Siddiq (benar), Fathonah (cerdas/bijaksana), serta Tabligh (berkomunikasi baik dengan rakyatnya). Sifat di atas juga sebaiknya harus dimiliki oleh pemimpin yang kita pilih.
Pilih pemimpin yang amanah, sehingga dia benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pilih pemimpin yang cerdas, sehingga dia tidak bisa ditipu oleh anak buahnya atau kelompok lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi yang jelas untuk memajukan rakyatnya.
Terkadang kita begitu apatis dengan pemimpin yang korup, sehingga memilih golput. Sikap golput atau tidak memilih pemimpin merupakan sikap yang kurang baik. Dalam Islam, kepemimpinan itu penting, sehingga Nabi pernah berkata, jika kalian bepergian, pilihlah satu orang jadi pemimpin. Jika hanya berdua, maka salah satunya jadi pemimpin. Salat wajib pun yang paling baik adalah yang ada pemimpinnya (imam). ***) dari berbagai sumber
--
MEMILIH pemimpin menurut Islam bukan perkara sederhana.
Sebab, ia merupakan hajat besar kehidupan manusia. Memilih pemimpin tidak
sekadar perkara cabang dalam agama, namun bagian dari masalah prinsip.
Firman Allah SWT
Firman Allah SWT
"Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu." (QS Al-Maidah
:3)
Ayat tersebut turun beberapa bulan sebelum Rasulullah SAW wafat. Tepatnya pada waktu haji wada' (haji perpisahan). Yang mana dengan turunnya ayat tersebut menunjukan bahwa agama Islam ini telah sempurna tidak kurang sedikit pun.
Ayat tersebut turun beberapa bulan sebelum Rasulullah SAW wafat. Tepatnya pada waktu haji wada' (haji perpisahan). Yang mana dengan turunnya ayat tersebut menunjukan bahwa agama Islam ini telah sempurna tidak kurang sedikit pun.
Agama Islam adalah agama yang universal (syamil), yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan Allah (Hablu minallah) atau pun yang berhubungan dengan manusia (Hablu minannas). Mengatur manusia dari tata-cara masuk toilet sampai tata cara memilih pemimpin.
Dalam komunitas kecil saja kita diperintahkan untuk memilih seseorang menjadi pemimpin, sebagaimana Rasulullah bersabda :
.... وَلا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ
يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاةٍ إِلا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ، ...... رواه أحمد
“Tidak boleh bagi tiga
orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara
mereka sebagai pemimpin ”. (HR Ahmad), apalagi memilih pemimpin untuk
mengurus umat ini.
Sungguh, penisbatan berkhianat kepada Allah , Rasul-Nya
dan kaum mukminin, merupakan ancaman keras bagi siapa pun yang tidak
bertanggung jawab dalam memilih pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
عنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r : §«مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلا مِنْ عِصَابَةٍ
وَفِي تِلْكَ الْعِصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى لِلَّهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ
وخانَ رَسُولَهُ وخانَ الْمُؤْمِنِينَ» الحاكم
“Barang siapa memilih seseorang menjadi
pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih
diridhai Allah daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Dalam hadits lain Rasulullah SAW. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah.:
عَنِ
النَّبِيِّ r ، قَالَ: «§كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ» ،
قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: «فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ، فَالأَوَّلِ،
وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ» رواه مسلم
“Dulu Bani Israil selalu
dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi
meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi
sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak pemimpin. “Para sahabat bertanya,
“Apakah yang Engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah janji
yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka (pemimpin) haknya, karena
Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka (pemimpin) atas rakyat yang dibebankan
urusannya kepada mereka (orang-orang yang dipimpinnya).” (HR Muslim).
Dari hadis di atas, tampak bahwa Islam memiliki ciri khas
tersendiri dalam perkara kepemimpinan. Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin
dalam seluruh perkara, apalagi perkara besar seperti pemerintahan. Sebab, tidak
akan ada gunanya pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin
pelaksanaan sistem tersebut.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan
bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan, karena
dengannya sebuah negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil
lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti
terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya,
maka keadilan pasti ia tegakkan.
Sungguh benar perumpamaan yang mengatakan bahwa pemimpin
adalah nahkoda bagi sebuah kapal. Sebab, negara ibarat kapal yang di dalamnya
banyak penumpang. Para penumpang seringkali tidak tahu apa-apa. Maka selamat
tidaknya sebuah kapal tergantung nahkodanya. Bila nahkodanya berusaha untuk
menabrakkan kapal ke sebuah karang, tentu bisa dipastikan bahwa kapal itu akan
tenggelam dan semua penumpang akan sengsara.
Oleh karena itu, diupayakan untuk dapat menghasilkan pemimpin yang dapat memikul amanah yang dipercayakan kepadanya. Dalam memilih pemimpin Alquran dan Hadits telah memberikan petunjuk, baik secara tersirat maupun tersurat.
Di antara kriteria pemimpin yang
harus dipilih sebagai berikut.
1. Seorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram dan bahagia dunia maupun akherat. Di samping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal saleh.
1. Seorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram dan bahagia dunia maupun akherat. Di samping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal saleh.
Allah berfirman :
“Dan jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin)
bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Furqan : 74). Dalam ayat lain Allah
berfirman :
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali
(mu).” (QS Ali Imran ).
2. Berilmu
Yang dimaksud dengan ilmu tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,
Yang dimaksud dengan ilmu tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,
”Yang takut kepada
Allah di antara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28).
Ibnu
Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi
ilmu adalah rasa takut kepada Allah”.
Bisa dikaji bagaimanakah kriteria para
penguasa yang digambarkan oleh Allah dalam Alquran. Dalam hal ini kita akan
mengamati sosok Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22),
Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
3. Memiliki kekuatan Fisik (sehat
jasmani dan rohani).
Ini terungkap dalam Alquran surat Al-Qashash ayat 26 :
Ini terungkap dalam Alquran surat Al-Qashash ayat 26 :
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau
tugaskan adalah yang kuat…”. Kekuatan fisik merupakan syarat utama dalam
memegang tanggung jawab berat mengurus umat. Dengan stamina yang prima pemimpin
akan maksimal mencurahkan tenaga, pikiran dan waktunya mengurus umat. Bukan
sebaliknya, umat yang memikirkan dan mengurus pemimpin yang sakit-sakitan.
Kriteria kuat fisik ini menjadi salah
satu alasan Nabi untuk tidak memberikan jabatan kepada Abu Dzar.
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ: «يَا أَبَا ذَرٍّ، §إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا،
وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ،
وَلا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ» رواه مسلم
“Wahai Abu Dzar, aku melihat engkau lemah. Aku
suka untukmu apa yang aku suka untuk diriku. Karena itu, jangan memimpin
(walau) dua orang dan jangan pula menjadi wali bagi harta anak yatim” (HR Muslim).
4. Bersikap adil, jujur dan dapat
dipercaya.
Allah berfirman :
Allah berfirman :
“Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami
adalah orang yang kuat lagi terpecaya” (QS. Yusuf: 54).
Sifat terpercaya
berkaitan dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak menyelewengkan jabatan
untuk mencari keuntungan secara tidak sah.
Allah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى
أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (
النساء 58)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu
menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh) apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia, supaya menetapkan dengan adil” (Qs. An-Nisa
: 59).
Rasulullah bersabda tentang pemimpin
yang adil :
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِr : «§إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ
إِلَى اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ
مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ، وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ
وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ» رواه
الترمذي
“Orang yang bakal paling dikasihi oleh Allah
dan yang paling dekat di sisi-Nya kelak pada hari berhisab ialah pemimpin yang
adil, dan orang yang bakal paling dibenci Allah pada hari berhisab dan bakal
menerima siksa azab yang sangat pedih adalah para pemimpin yang dzalim.” (HR
Tirmidzi).
5. Konsekuen memikul tanggung jawab (Amanah).
Maksudnya adalah melaksanakan aturan-turan yang ada dengan sebaik-baiknya dan bertanggungjawab terhadap peraturan yang telah dibuat. Dan tentunya peraturan yang dibuat itu yang berpihak kepada rakyat dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan rasul-Nya.
6. Memiliki keberanian (tegas) menegakkan yang makruf dan mencegah yang munkar.
Syarat terakhir yaitu keberanian. Karena tanpa keberanian, segala sifat-sifat terdahulu tidak akan dapat dijalankan secara efektif. Tegas bukan berarti otoriter. Tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. ***) dari berbagai sumber
Ditulis oleh :
Drs. KOESMOKO
Penggerak Pembina Generasi Penerus (PPG) DPD LDII Kabupaten Sidoarjo