Motto

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ* القران سورة آل عمران ١٠٤
“Dan jadilah kamu sekalian bagian dari umat yang menyerukan kebajikan dan mengajak yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung [Quran Surat Ali Imron, ayat 104]

News

Senin, 27 Juni 2016

LDII Minta Pemerintah Ajarkan Kedaulatan Laut Indonesia Sejak Dini

ldii-sidoarjo.org | Jakarta (26/6). Indonesia yang mulanya berjarak dengan konflik Laut China Selatan, dan berusaha untuk netral aktif, rupanya mulai terseret pusaran konflik. Seperti yang diinformasikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada (20/3) lalu, telah terjadi dugaan pelanggaran kapal penjaga pantai China di wilayah Indonesia.

Menurut Susi, telah terjadi insiden saat kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan China. Kapal nelayan tersebut diduga menangkap ikan secara ilegal di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (19/3/2016). “Saat kapal patroli mengawal kapal ikan China, muncul kapal penjaga pantai China yang mengejar dan menabrak kapal ikan itu, agar rusak sehingga tak dapat ditarik,”kata Susi.

Menanggapi hal itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, mengatakan, kapal nelayan dari negaranya menangkap ikan di tempat yang telah turun-temurun dikunjungi. Rupanya China melakukan pendekatan sejarah atas klaim Kepulauan Spartley di Laut China Selatan, yang saat ini menjadi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Filipina. China juga berkonflik dengan Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Menanggapi konflik perbatasan ini, DPP LDII sebagai ormas Islam meminta kepada pemerintah, menanamkan pendidikan sejak dini kepada anak-anak mengenai kedaulatan laut Indonesia. Hal ini untuk menanamkan cinta tanah air, memahami sejarah, dan mengetahui benar batas-batas kedaulatan bangsa terutama di laut.


Anak-anak sejak dini harus mengerti dan paham mengenai ZEE Indonesia, berdasarkan Konvensi Hukum Laut atau Hukum Perjanjian Laut PBB (UNCLOS). ZEE Indonesia membentang sejauh 200 mil laut dari Pulau Natuna berdasarkan UNCLOS. China pun sebagaimana Indonesia, telah meratifikasi UNCLOS. Namun dalam penyelesaian sengketa kedaulatan laut, China justru menggunakan pendekatan sejarah.

LDII juga meminta pemerintah Indonesia meningkatkan kesejahteraan nelayan di Pulau Natuna dan sekitarnya, “Masalah di Natuna adalah nelayan kesulitan menjual hasil tangkapan mereka. Para nelayan di wilayah itu kerap menjual tangkapannya kepada nelayan asing,”ujar Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo. Ia meminta pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas, yang memungkinkan nelayan menjual tangkapannya dengan mudah, dan mengolahnya untuk meningkatkan nilai jual hasil laut.

DPP LDII juga meminta kepada pemerintah Indonesia, untuk mengintegrasikan pengawasan Laut Natuna dengan mengintegrasikan teknologi dengan drone atau pesawat nirawak yang dikontrol dari darat dan kapal perang. Cara ini jauh lebih efisien dalam memantau pergerakan kapal nelayan maupun kapal laut asing, demikian penjelasan Prasetyo Soenaryo.

Semenatara itu Profesor Singgih Trisulistyono, guru besar Sejarah Universitas Diponegoro Semarang, menyatakan  hingga abad XX kepulauan dan karang di kawasan Kepulauan Spratlys dan Paracels merupakan terra nullius, atau wilayah yang tidak ada pemiliknya atau dalam sistem hukum barat disebut "nobody's land", tidak diduduki dan tidak diklaim oleh negara manapun. Pemukiman nelayan yang bersifat musiman (seperti yang menjadi dasar klaim Cina) dan eksplorasi pertambangan komersial (seperti dasar klaim Filipina) bukanlah merupakan sebuah pendudukan, paling tidak oleh sebuah negara.

“Memang pada tahun 1947 China mengeluarkan peta yang memasukkan kawasan ini  sebagai wilayah mereka, namun tidak dengan koordinat yang jelas dan hanya di atas kertas saja,”kata Singgih. Dengan demikian klaim historis yang bersifat kontemporer tanpa dasar yang jelas tidak memiliki basis legal yang kuat. Menurut Singgih, bahwa pemerintah China lebih menonjolkan kekuatan militer namun dibungkus dengan diplomasi yang ambivalen. Diplomasi boleh menunjukkan pasang surut namun penguasaan atau pendudukan terus berjalan.

Bahkan Singgih menyatakan China bukanlah bangsa dan negara yang pertama-tama menjelajahi kawasan Laut China Selatan. Pelayaran Nusantara – China justru dirintis oleh orang-orang dari Nusantara, sejarah abad ke-5 masehi utusan-utusan dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara sudah datang di China, misalnya dari Tarumanegara, Kalingga, Sriwijaya, Melayu, dan sebagainya. Tak satu pun ada berita bahwa China melakukan pelayaran ke Nusantara.

Pelayaran orang India dan Arab ke China juga memanfaatkan pandu dari orang Nusantara. Para pendeta China yang pergi ke India via Nusantara juga hanya menumpang kapal-kapal Nusantara atau pun kapal-kapal India. Palayaran China ke laut selatan kurang lebih baru intensif sejak abad ke-11 setelah mereka belajar perkapalan dari Nusantara yang datang ke pelabuhan pelabuhan mereka. Ingat bahwa ekspedisi alut selatan dinasti Yuan dapat dengan mudah dikalahkan oleh Kertanegara (Singasari) dan Raden Wijaya (Majapahit) pada abad ke-13. (sumber : ldiijatim.com)

LDII Minta Pemerintah Ajarkan Kedaulatan Laut Indonesia Sejak Dini

ldii-sidoarjo.org | Jakarta (26/6). Indonesia yang mulanya berjarak dengan konflik Laut China Selatan, dan berusaha untuk netral aktif, rupanya mulai terseret pusaran konflik. Seperti yang diinformasikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada (20/3) lalu, telah terjadi dugaan pelanggaran kapal penjaga pantai China di wilayah Indonesia.

Menurut Susi, telah terjadi insiden saat kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan China. Kapal nelayan tersebut diduga menangkap ikan secara ilegal di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (19/3/2016). “Saat kapal patroli mengawal kapal ikan China, muncul kapal penjaga pantai China yang mengejar dan menabrak kapal ikan itu, agar rusak sehingga tak dapat ditarik,”kata Susi.

Menanggapi hal itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, mengatakan, kapal nelayan dari negaranya menangkap ikan di tempat yang telah turun-temurun dikunjungi. Rupanya China melakukan pendekatan sejarah atas klaim Kepulauan Spartley di Laut China Selatan, yang saat ini menjadi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Filipina. China juga berkonflik dengan Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Menanggapi konflik perbatasan ini, DPP LDII sebagai ormas Islam meminta kepada pemerintah, menanamkan pendidikan sejak dini kepada anak-anak mengenai kedaulatan laut Indonesia. Hal ini untuk menanamkan cinta tanah air, memahami sejarah, dan mengetahui benar batas-batas kedaulatan bangsa terutama di laut.


Anak-anak sejak dini harus mengerti dan paham mengenai ZEE Indonesia, berdasarkan Konvensi Hukum Laut atau Hukum Perjanjian Laut PBB (UNCLOS). ZEE Indonesia membentang sejauh 200 mil laut dari Pulau Natuna berdasarkan UNCLOS. China pun sebagaimana Indonesia, telah meratifikasi UNCLOS. Namun dalam penyelesaian sengketa kedaulatan laut, China justru menggunakan pendekatan sejarah.

LDII juga meminta pemerintah Indonesia meningkatkan kesejahteraan nelayan di Pulau Natuna dan sekitarnya, “Masalah di Natuna adalah nelayan kesulitan menjual hasil tangkapan mereka. Para nelayan di wilayah itu kerap menjual tangkapannya kepada nelayan asing,”ujar Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo. Ia meminta pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas, yang memungkinkan nelayan menjual tangkapannya dengan mudah, dan mengolahnya untuk meningkatkan nilai jual hasil laut.

DPP LDII juga meminta kepada pemerintah Indonesia, untuk mengintegrasikan pengawasan Laut Natuna dengan mengintegrasikan teknologi dengan drone atau pesawat nirawak yang dikontrol dari darat dan kapal perang. Cara ini jauh lebih efisien dalam memantau pergerakan kapal nelayan maupun kapal laut asing, demikian penjelasan Prasetyo Soenaryo.

Semenatara itu Profesor Singgih Trisulistyono, guru besar Sejarah Universitas Diponegoro Semarang, menyatakan  hingga abad XX kepulauan dan karang di kawasan Kepulauan Spratlys dan Paracels merupakan terra nullius, atau wilayah yang tidak ada pemiliknya atau dalam sistem hukum barat disebut "nobody's land", tidak diduduki dan tidak diklaim oleh negara manapun. Pemukiman nelayan yang bersifat musiman (seperti yang menjadi dasar klaim Cina) dan eksplorasi pertambangan komersial (seperti dasar klaim Filipina) bukanlah merupakan sebuah pendudukan, paling tidak oleh sebuah negara.

“Memang pada tahun 1947 China mengeluarkan peta yang memasukkan kawasan ini  sebagai wilayah mereka, namun tidak dengan koordinat yang jelas dan hanya di atas kertas saja,”kata Singgih. Dengan demikian klaim historis yang bersifat kontemporer tanpa dasar yang jelas tidak memiliki basis legal yang kuat. Menurut Singgih, bahwa pemerintah China lebih menonjolkan kekuatan militer namun dibungkus dengan diplomasi yang ambivalen. Diplomasi boleh menunjukkan pasang surut namun penguasaan atau pendudukan terus berjalan.

Bahkan Singgih menyatakan China bukanlah bangsa dan negara yang pertama-tama menjelajahi kawasan Laut China Selatan. Pelayaran Nusantara – China justru dirintis oleh orang-orang dari Nusantara, sejarah abad ke-5 masehi utusan-utusan dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara sudah datang di China, misalnya dari Tarumanegara, Kalingga, Sriwijaya, Melayu, dan sebagainya. Tak satu pun ada berita bahwa China melakukan pelayaran ke Nusantara.

Pelayaran orang India dan Arab ke China juga memanfaatkan pandu dari orang Nusantara. Para pendeta China yang pergi ke India via Nusantara juga hanya menumpang kapal-kapal Nusantara atau pun kapal-kapal India. Palayaran China ke laut selatan kurang lebih baru intensif sejak abad ke-11 setelah mereka belajar perkapalan dari Nusantara yang datang ke pelabuhan pelabuhan mereka. Ingat bahwa ekspedisi alut selatan dinasti Yuan dapat dengan mudah dikalahkan oleh Kertanegara (Singasari) dan Raden Wijaya (Majapahit) pada abad ke-13. (sumber : ldiijatim.com)