Motto

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ* القران سورة آل عمران ١٠٤
“Dan jadilah kamu sekalian bagian dari umat yang menyerukan kebajikan dan mengajak yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung [Quran Surat Ali Imron, ayat 104]

News

Sabtu, 31 Desember 2011

Bagaimanakah Facebook dan Twitter Berdampak pada Islam?

Nidhal Guessoum

Profesor Fisika dan Astronomi di American University of Sharjah, UEA
Saat shalat Jumat terakhir, di sebelah saya duduk seorang muslim muda menggenggam Blackberry-nya dan mulai memeriksa SMS-SMS nya sementara Imam sedang menyampaikan khutbah. Saya agak kaget. Lalu pemuda itu menyingkirkan smartphone-nya, tapi 10 menit kemudian mengeluarkannya lagi dan mengetik beberapa hal. Ini memberi saya dua pertanda yaitu sedikitnya (pendeknya) perhatian dan bahwa anak-anak saat ini telah menjadi korban kecanduan dunia maya.

Saya tidak bisa menghapus adegan tersebut dari pikiran, sehingga saya kemudian browsing "Twitter dan layanan agama", dan lihatlah, saya menemukan halaman berjudul "Tweeting selama kebaktian gereja mendapat berkat dari pendeta" (sebuah artikel di Houston Chronicle dua tahun yang lalu) dan "Apakah Tuhan menggunakan Tweeter?", sebuah forum online yang diselenggarakan oleh Washington Post dua tahun lalu, di mana 16 kontributor menyajikan pendapat mereka tentang apakah hubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui Twitter? Apakah doa bisa direduksi menjadi sebuah pernyataan 140-karakter? Apakah kita tidak lagi bisa membebaskan pikiran kita, menenangkan batin, fokus pada dimensi spiritual kita, dan meneguhkan suasana keagamaan yang bermakna?

Kemudian, saya bertanya-tanya bagaimana Twitter, Facebook, dan jejaring sosial saat ini dan masa depan serta media micro-blogging akan mempengaruhi agama-agama pada umumnya dan Islam pada khususnya. Kekhawatiran saya meningkat ketika saya menemukan sebuah artikel berjudul "25 Alasan Kenapa Twitter Spiritual", tapi tidak ada satupun alasan yang meyakinkan.

Facebook menimbulkan sejumlah tantangan dan keprihatinan bagi umat Islam. Pertama dan terpenting adalah kebebasan berbicara yang jauh lebih besar daripada kebanyakan Muslim di negara mereka atau dapat disalahgunakan menjadi ucapan kebencian. Sudah ada sejumlah contoh dimana halaman dibuat untuk publikasi dan secara kasar "mengkritik" Islam, dan bulan lalu seorang Mesir dipenjara karena "menghina Islam" di Facebook.

Sebagai reaksi, beberapa Muslim melancarkan kampanye boikot Facebook atau terus melaju dengan menciptakan jaringan sosial Muslim, misalnya Muslimsocial.com, Muxlim.com, atau Naseeb.com.

Kekhawatiran lain yang banyak Muslim rasakan dengan Facebook yaitu hilangnya "kesopanan virtual," dari "perilaku yang benar" dan hilangnya privasi. Keprihatinan atas "kerendahan hati" mengacu pada citra yang dapat dianggap tidak pantas. "Perilaku Benar" mengecam hilangnya batasan yang orang-orang tunjukkan secara online, sering kontras dengan kepribadian sehari-hari mereka, dan kemunafikan menyuarakan pandangan online yang sangat berbeda dari keyakinan mereka dan praktek dalam "kehidupan nyata". Dan masalah privasi online sudah sangat lazim.

Akhirnya, ada masalah besar yaitu hilangnya waktu sia-sia dalam aktivitas jejaring sosial. Dua tahun lalu, sebuah penelitian yang dilakukan di kalangan mahasiswa Kristen ditemukan bahwa mereka rata-rata menghabiskan 18,6 jam per minggu pada media sosial, setengahnya di Facebook. Menariknya, 54 persen dari mahasiswa religius itu melaporkan bahwa "mereka mengabaikan soal-soal penting dalam kehidupan mereka karena menghabiskan terlalu banyak waktu [pada aktivitas itu]". Di sisi lain, 43 persen dari siswa menyatakan bahwa ini membantu mengurangi stres dalam kehidupan mereka, dan 35 persen melaporkan bahwa hubungan sosial mereka meningkat dengan itu. Para penulis studi ini mengingatkan terhadap dampak negatif membuang waktu ini bahwa akan mengurangi kegiatan keagamaan (seperti berdoa, belajar agama, beribadah, membantu orang lain, dll) dari para pengguna media sosial.

Dan memang, seperti yang saya sebutkan di kolom terakhir saya, seorang ulama ternama Iran baru-baru ini memperingatkan murid-muridnya tentang "bahaya dan godaan" internet dan menyarankan mereka untuk "menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdoa dan sedikit waktu selancar di dunia maya”.

Dua konferensi baru-baru ini dikhususkan untuk mengeksplorasi wacana dampak dari 'media baru' pada kalangan Muslim (seluruh dunia) dan dengan masyarakat agama lain (dialog antaragama).

April lalu, sebuah "konferensi" online bertema "Masa Depan Islam di Era New Media",yang terdiri dari 60 pembicara, yang masing-masing berbicara selama satu menit pada topic tersebut. Sebagian besar narasumber berbicara dengan antusias tentang dampak media baru terhadap Islam dan budaya. Beberapa peserta, bagaimanapun, mengungkapkan beberapa keprihatinan.

Efek paling penting yang disorot adalah bahwa media baru memungkinkan membuka seluas-luasnya ide-ide tentang Islam dan memberikan orang kebebasan baru untuk menemukan atau mengungkapkan pikiran-pikiran yang sering tersembunyi dari perhatian. Muslim menjadi lebih sadar akan keragaman dalam tradisi mereka dan sekarang dapat membentuk opini mereka dengan cara yang lebih tepat. Demokratisasi pendapat Islam, bagaimanapun, telah berubah menjadi "terurai," kebanyakan pandangan tanpa inti atau kerangka acuan. Lebih jauh, "pengerucutan pandangan" telah terjadi (seperti yang telah diamati dengan jelas pandangan orang atau kelompok lain): orang yang berpikiran sama berhubungan dan memperkuat pandangan satu sama lain.

Partisipasi perempuan juga jauh lebih besar dalam diskusi tentang Islam, karena perempuan Muslim sudah rajin blogging, sekalipun di negara-negara yang paling konservatif.

Media baru itu juga menawarkan kesempatan menarik bagi pertukaran dengan "orang lain”, kesempatan untuk melawan Islamofobia atau hanya ketidaktahuan biasa, asalkan salah satu keluar dari pandangan sempit atau gelembung pandangan yang sama.

Akan tetapi, kita harus berhati-hati untuk tidak memberikan piranti baru itu penilaian lebih atau kekuasaan lebih dari yang sebenarnya mereka miliki. Lagi pula, hanya sebagian kecil (10 sampai 15 persen) Muslim di seluruh dunia memiliki akses ke internet, menurut Laporan Informasi 2011 Global Technology . Selain itu, internet dan media baru, membutuhkan tingkat pendidikan dan kecanggihan tertentu. Jadi, dampak media baru terhadap pandangan Muslim dan pemahaman agama mereka - untuk saat ini - sebagian besar terbatas pada segmen masyarakat berpendidikan.

Penyelenggara konferensi online ini kini mulai fase kedua dari proyek tersebut, di mana beberapa narasumber dihadirkan kembali untuk bahasan lebih mendalam. Mereka akan mengeksplorasi tema-tema utama yang muncul pada Tahap 1.

Konferensi lain yang saya ingin sorot adalah salah satu yang baru-baru ini dikhususkan untuk mengungkapkan efek media jejaring sosial pada dialog antaragama: " Media Sosial dan Dialog Antar-Agama: Sebuah Hubungan Baru , "yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2011 di Doha, Qatar .

Konferensi ini bertujuan untuk membahas sejumlah tema, termasuk: Media sosial sebagai alat untuk dialog, bukan serangan kebencian, dan bagaimana mengembangkan kerangka agama dan peraturan etis untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan media - Kode Etik Global Perilaku untuk menghormati kesucian dan agama.

Jelas, media baru dan jaringan sosial telah menciptakan dinamika baru dalam komunitas agama, termasuk Muslim. Beberapa efek sudah terasa, baik dalam praktek dan dalam perumusan dan pemahaman tentang agama itu sendiri. Ini adalah salah satu perkembangan yang paling penting dari zaman kita.

Sumber: http://www.huffingtonpost.com/




Bagaimanakah Facebook dan Twitter Berdampak pada Islam?

Nidhal Guessoum

Profesor Fisika dan Astronomi di American University of Sharjah, UEA
Saat shalat Jumat terakhir, di sebelah saya duduk seorang muslim muda menggenggam Blackberry-nya dan mulai memeriksa SMS-SMS nya sementara Imam sedang menyampaikan khutbah. Saya agak kaget. Lalu pemuda itu menyingkirkan smartphone-nya, tapi 10 menit kemudian mengeluarkannya lagi dan mengetik beberapa hal. Ini memberi saya dua pertanda yaitu sedikitnya (pendeknya) perhatian dan bahwa anak-anak saat ini telah menjadi korban kecanduan dunia maya.

Saya tidak bisa menghapus adegan tersebut dari pikiran, sehingga saya kemudian browsing "Twitter dan layanan agama", dan lihatlah, saya menemukan halaman berjudul "Tweeting selama kebaktian gereja mendapat berkat dari pendeta" (sebuah artikel di Houston Chronicle dua tahun yang lalu) dan "Apakah Tuhan menggunakan Tweeter?", sebuah forum online yang diselenggarakan oleh Washington Post dua tahun lalu, di mana 16 kontributor menyajikan pendapat mereka tentang apakah hubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui Twitter? Apakah doa bisa direduksi menjadi sebuah pernyataan 140-karakter? Apakah kita tidak lagi bisa membebaskan pikiran kita, menenangkan batin, fokus pada dimensi spiritual kita, dan meneguhkan suasana keagamaan yang bermakna?

Kemudian, saya bertanya-tanya bagaimana Twitter, Facebook, dan jejaring sosial saat ini dan masa depan serta media micro-blogging akan mempengaruhi agama-agama pada umumnya dan Islam pada khususnya. Kekhawatiran saya meningkat ketika saya menemukan sebuah artikel berjudul "25 Alasan Kenapa Twitter Spiritual", tapi tidak ada satupun alasan yang meyakinkan.

Facebook menimbulkan sejumlah tantangan dan keprihatinan bagi umat Islam. Pertama dan terpenting adalah kebebasan berbicara yang jauh lebih besar daripada kebanyakan Muslim di negara mereka atau dapat disalahgunakan menjadi ucapan kebencian. Sudah ada sejumlah contoh dimana halaman dibuat untuk publikasi dan secara kasar "mengkritik" Islam, dan bulan lalu seorang Mesir dipenjara karena "menghina Islam" di Facebook.

Sebagai reaksi, beberapa Muslim melancarkan kampanye boikot Facebook atau terus melaju dengan menciptakan jaringan sosial Muslim, misalnya Muslimsocial.com, Muxlim.com, atau Naseeb.com.

Kekhawatiran lain yang banyak Muslim rasakan dengan Facebook yaitu hilangnya "kesopanan virtual," dari "perilaku yang benar" dan hilangnya privasi. Keprihatinan atas "kerendahan hati" mengacu pada citra yang dapat dianggap tidak pantas. "Perilaku Benar" mengecam hilangnya batasan yang orang-orang tunjukkan secara online, sering kontras dengan kepribadian sehari-hari mereka, dan kemunafikan menyuarakan pandangan online yang sangat berbeda dari keyakinan mereka dan praktek dalam "kehidupan nyata". Dan masalah privasi online sudah sangat lazim.

Akhirnya, ada masalah besar yaitu hilangnya waktu sia-sia dalam aktivitas jejaring sosial. Dua tahun lalu, sebuah penelitian yang dilakukan di kalangan mahasiswa Kristen ditemukan bahwa mereka rata-rata menghabiskan 18,6 jam per minggu pada media sosial, setengahnya di Facebook. Menariknya, 54 persen dari mahasiswa religius itu melaporkan bahwa "mereka mengabaikan soal-soal penting dalam kehidupan mereka karena menghabiskan terlalu banyak waktu [pada aktivitas itu]". Di sisi lain, 43 persen dari siswa menyatakan bahwa ini membantu mengurangi stres dalam kehidupan mereka, dan 35 persen melaporkan bahwa hubungan sosial mereka meningkat dengan itu. Para penulis studi ini mengingatkan terhadap dampak negatif membuang waktu ini bahwa akan mengurangi kegiatan keagamaan (seperti berdoa, belajar agama, beribadah, membantu orang lain, dll) dari para pengguna media sosial.

Dan memang, seperti yang saya sebutkan di kolom terakhir saya, seorang ulama ternama Iran baru-baru ini memperingatkan murid-muridnya tentang "bahaya dan godaan" internet dan menyarankan mereka untuk "menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdoa dan sedikit waktu selancar di dunia maya”.

Dua konferensi baru-baru ini dikhususkan untuk mengeksplorasi wacana dampak dari 'media baru' pada kalangan Muslim (seluruh dunia) dan dengan masyarakat agama lain (dialog antaragama).

April lalu, sebuah "konferensi" online bertema "Masa Depan Islam di Era New Media",yang terdiri dari 60 pembicara, yang masing-masing berbicara selama satu menit pada topic tersebut. Sebagian besar narasumber berbicara dengan antusias tentang dampak media baru terhadap Islam dan budaya. Beberapa peserta, bagaimanapun, mengungkapkan beberapa keprihatinan.

Efek paling penting yang disorot adalah bahwa media baru memungkinkan membuka seluas-luasnya ide-ide tentang Islam dan memberikan orang kebebasan baru untuk menemukan atau mengungkapkan pikiran-pikiran yang sering tersembunyi dari perhatian. Muslim menjadi lebih sadar akan keragaman dalam tradisi mereka dan sekarang dapat membentuk opini mereka dengan cara yang lebih tepat. Demokratisasi pendapat Islam, bagaimanapun, telah berubah menjadi "terurai," kebanyakan pandangan tanpa inti atau kerangka acuan. Lebih jauh, "pengerucutan pandangan" telah terjadi (seperti yang telah diamati dengan jelas pandangan orang atau kelompok lain): orang yang berpikiran sama berhubungan dan memperkuat pandangan satu sama lain.

Partisipasi perempuan juga jauh lebih besar dalam diskusi tentang Islam, karena perempuan Muslim sudah rajin blogging, sekalipun di negara-negara yang paling konservatif.

Media baru itu juga menawarkan kesempatan menarik bagi pertukaran dengan "orang lain”, kesempatan untuk melawan Islamofobia atau hanya ketidaktahuan biasa, asalkan salah satu keluar dari pandangan sempit atau gelembung pandangan yang sama.

Akan tetapi, kita harus berhati-hati untuk tidak memberikan piranti baru itu penilaian lebih atau kekuasaan lebih dari yang sebenarnya mereka miliki. Lagi pula, hanya sebagian kecil (10 sampai 15 persen) Muslim di seluruh dunia memiliki akses ke internet, menurut Laporan Informasi 2011 Global Technology . Selain itu, internet dan media baru, membutuhkan tingkat pendidikan dan kecanggihan tertentu. Jadi, dampak media baru terhadap pandangan Muslim dan pemahaman agama mereka - untuk saat ini - sebagian besar terbatas pada segmen masyarakat berpendidikan.

Penyelenggara konferensi online ini kini mulai fase kedua dari proyek tersebut, di mana beberapa narasumber dihadirkan kembali untuk bahasan lebih mendalam. Mereka akan mengeksplorasi tema-tema utama yang muncul pada Tahap 1.

Konferensi lain yang saya ingin sorot adalah salah satu yang baru-baru ini dikhususkan untuk mengungkapkan efek media jejaring sosial pada dialog antaragama: " Media Sosial dan Dialog Antar-Agama: Sebuah Hubungan Baru , "yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2011 di Doha, Qatar .

Konferensi ini bertujuan untuk membahas sejumlah tema, termasuk: Media sosial sebagai alat untuk dialog, bukan serangan kebencian, dan bagaimana mengembangkan kerangka agama dan peraturan etis untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan media - Kode Etik Global Perilaku untuk menghormati kesucian dan agama.

Jelas, media baru dan jaringan sosial telah menciptakan dinamika baru dalam komunitas agama, termasuk Muslim. Beberapa efek sudah terasa, baik dalam praktek dan dalam perumusan dan pemahaman tentang agama itu sendiri. Ini adalah salah satu perkembangan yang paling penting dari zaman kita.

Sumber: http://www.huffingtonpost.com/