Saat ini banyak orang yang berkata: "Beli
sesuatu tidak kredit tidak afdol dan hidup tanpa hutang kurang semangat".
Dalam ajaran Islam, utang-piutang
adalah mu'amalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam
menerapkannya.
Islam membolehkan pedagang yang
menjual barang kepada orang yang tidak mampu membayar tunai, lalu memberi
tempo, membolehkan pembelinya berutang tetapi harus dihindari dari Riba atau
sistem bunga berbunga karena hal ini yang di larang dalam agama Islam.
Agama Islam mengajarkan sistem yang
lebih baik yaitu sistem Syari'ah dan Alhamdulillah sekarang telah banyak
perusahaan jasa keuangan dan leasing yang menggunakan sistem syari'ah di
Indonesia.
Keutamaan/fadhilah bagi pemberi
utang:
- Siapa yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di bawah naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah, Baihaqi)
- Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka pahala shadaqah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah). Contohnya, si Fulan meminjam uang sebesar Rp. 1.000 kepada Fulanah. Fulanah akan mengembalikan uang tersebut dalam tempo 10 hari. Maka selama sepuluh hari itu si Fulan mendapatkan pahala shadaqah Rp. 1.000 setiap harinya.
- Dua kali memberikan pinjaman, sama derajatnya dengan sekali bershadaqah. (HR. Bukhari, Muslim, Thabrani, Baihaqi).
Menghindari Utang
Sebaliknya, Islam menyuruh pembeli
menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai. Karena
utang, menurut Rasulullah SAW, penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di
siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, kata Rasulullah,
“Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Bahkan dalam Hadits lain disebutkan
bahwa dosa terbesar yang dibawa seseorang setelah dosa-dosa besar lainnya
adalah seseorang yang meninggal dalam keadaan masih menanggung hutang yang
tidak mampu beliau lunasi.
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي
سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ الْقُرَشِيَّ
يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا بُرْدَةَ بْنَ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ يَقُولُ عَنْ
أَبِيهِ\nعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ إِنَّ أَعْظَمَ الذُّنُوبِ عِنْدَ اللَّهِ أَنْ يَلْقَاهُ بِهَا
عَبْدٌ بَعْدَ الْكَبَائِرِ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا أَنْ يَمُوتَ رَجُلٌ
وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لَا يَدَعُ لَهُ قَضَاءً
Telah menceritakan kepada kami
[Sulaiman bin Daud Al Mahri], telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Wahb], telah
menceritakan kepadaku [Sa'i bin Abu Ayyub], bahwa ia telah mendengar [Abu Abdullah
Al Qurasyi] berkata; aku mendengar [Abu Burdah bin Abu Musa Al Asy'ari] berkata
dari [ayahnya], dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau
bersabda: "Sesungguhnya dosa terbesar di sisi Allah yang akan dibawa
seorang hamba bertemu denganNya setelah dosa-dosa besar yang telah Allah larang
adalah seseorang meninggal dalam keadaan menanggung hutang yang tidak mampu ia
lunasi.". (HR. Abu Dawud)
Bahkan suatu hari pada zaman
Rosululloh SAW ada seseorang yang meninggal karena yang meninggal masih ada
tanggungan hutang yang belum dilunasi Rosululloh tidak berkenan menyolatinya.
Dalam Al Hadits diriwayatkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ\nكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيُّ هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ فَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ\nحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ رَفَعَهُ قَالَ عُثْمَانُ و حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ قَالَ اشْتَرَى مِنْ عِيرٍ تَبِيعًا وَلَيْسَ عِنْدَهُ ثَمَنُهُ فَأُرْبِحَ فِيهِ فَبَاعَهُ فَتَصَدَّقَ بِالرِّبْحِ عَلَى أَرَامِلِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَقَالَ لَا أَشْتَرِي بَعْدَهَا شَيْئًا إِلَّا وَعِنْدِي ثَمَنُهُ
Telah menceritakan kepada kami
[Muhammad bin Al Mutawakkil Al 'Asqalani], telah menceritakan kepada kami
[Abdurrazzaq], telah mengabarkan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhri] dari [Abu
Salamah] dari [Jabir] ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak
menshalatkan seseorang yang meninggal dalam keadaan menanggung hutang. Kemudian
beliau dihadapkan kepada seorang yang telah meninggal, lalu beliau bertanya:
"Apakah ia memiliki tanggungan hutang?" Mereka berkata; Iya, dua
dinar. Beliau berkata: "Shalatkan sahabat kalian!" kemudian Abu
Qatadah Al Anshari berkata; keduanya menjadi tanggunganku wahai Rasulullah!
Jabir berkata; kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menshalatkannya. Kemudian tatkala Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Aku adalah lebih utama
(lebih berhak) terhadap orang mukmin daripada dirinya sendiri. Barangsiapa yang
meninggalkan hutang maka menjadi tanggunganku, dan barangsiapa yang
meninggalkan harta maka untuk pewarisnya." Telah menceritakan kepada kami
[Utsman bin Abu Syaibah?], dan [Qutaibah bin Sa'id], dari [Syarik] dari
[Simak], dari [Ikrimah] dan ia memarfu'kannya. [Utsman] berkata; dan telah
menceritakan kepada kami [Waki'] dari [Syarik], dari [Simak], dari [Ikrimah],
dari [Ibnu Abbas] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti itu. Ia
berkata; ia membeli sapi yang berumur satu tahun dari sebuah kafilah, sementara
ia tidak memiliki uang untuk membayarnya. Kemudian ia mendapat keuntungan dan
ia pun menjualnya. Lalu ia mensedekahkan keuntungan tersebut kepada para janda
Bani Abdul Muththalib. Ia berkata; setelah itu tidaklah aku membeli sesuatu,
melainkan aku memiliki uang untuk harganya.(HR. Abu Dawud)
Berhutang dengan niat baik dan akan
melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan
tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk
tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang
yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar
bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta.
Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar
mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan
melunasinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه
– عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ
يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا
أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
Dari Abu Hurairah , ia berkata bahwa
Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan
tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya.
Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent),
maka Allah akan membinasakannya”. (HR. Bukhari)
Adab Umum
- Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan. Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim)
- Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran dan pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak).
- Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasa’i).
Adab untuk pemberi hutang
- Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
- Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan. (HR. Ahmad)
- Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
- Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).
Adab bagi penghutang
- Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang (tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi).
- Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk membayar. (HR. Bukhari, Muslim)
- Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR. Thabrani, Abu Dawud).
- Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi).
- Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya, dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang. (HR. Baihaqi)
- Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad).