Motto

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ* القران سورة آل عمران ١٠٤
“Dan jadilah kamu sekalian bagian dari umat yang menyerukan kebajikan dan mengajak yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung [Quran Surat Ali Imron, ayat 104]

News

Rabu, 01 Juni 2011

PPG, Cermin Masa Depan LDII

ditulis oleh : Budi Waluyo, ST*
LDII sudah lama menetapkan target pembinaan generasi penerus yang saya ingat waktu itu ada 4 yaitu membentuk generasi yang:
  1. alim (banyak ilmu agamanya)
  2. fakih beribadah
  3. berakhlakul karimah
  4. bisa hidup mandiri
Namun entah kenapa saat ini target pembinaan generasi penerus tersebut diringkas menjadi tiga saja. Begitu juga dengan lima unsur pembina generus, sebelum tahun 1990 juga sudah dirumuskan. Namun sejauh itu pula saya adalah orang yang termasuk skeptis terhadap sistem pendidikan dalam LDII. Betapa tidak, waktu itu seorang mubaligh yang bertugas di kelompok selalu datang dengan tangan kosong tanpa dibekali pedoman dalam mengajar, terutama terhadap pendidikan anak-anak / caberawit dan remaja. Begitu ganti mubaligh ganti juga acara. Seolah-olah pengajaran caberawit hanya ditujukan asal bisa baca tulis Arab sehingga waktu dewasa bisa menterjemahkan Al-Quran atau Al-Hadist. Itu saja. Waktu itu di Surabaya juga sudah saya dengar perdebatan antara para guru dan dosen bahwa akan dibentuknya kurikulum pendidikan caberawit dan remaja di lingkungan LDII

Sebagai jamaah biasa yang tidak punya akses ke pusat dan tidak punya latar belakang pendidikan keguruan, selama itu pula saya hanya bisa berharap-harap tanpa bisa berbuat apapun. Sehingga dalam masalah pendidikan anak, saya pilih "save" saja tidak mau ambil resiko, begitu anak saya lulus SD langsung saya kirim ke Pondok Gadingmangu sekaligus sekolah di SMP Budi Utomo. Alhamdulillah dua anak saya sudah lulus mubaligh sebelum mendapatkan ijasah SMP. Bahkan anak kedua saya sekarang masih bertugas sebagai mubalig LDII di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara.

Yang agak mengejutkan, ketika pertama kali saya memondokkan anak saya pada tahun 2.000, yang waktu itu Pondok Gading mangu 2 diketuai oleh almarhum Bapak Arman dan baru masuk angkatan kedua, salah seorang saudara saya yang juga mubaligh lawas berkomentar,"Wong anak nggak nakal dan nilainya bagus kok dipondokkan!. Deg!, tentu saja saya kaget setengah mati bahwa seorang mubalegh tulen yang pernah diajar langsung oleh Haji Nurhasan ternyata berpandangan seperti itu terhadap institusi pendidikan agama di lembaga yang lama dibelanya. Sejak saat itulah saya menjadi tahu bagaimana pandangan jamaah secara umum terhadap pendidikan pondok. Sepertinya pondok adalah lembaga buangan bagi anak-anak nakal, terbelakang yang tidak berprestasi. Dan ndilalah, dari empat anak saudara saya tersebut tidak satupun yang menjadi mubaligh atau mubalighot. Jadi LDII ini sebenarnya bukan hanya buruk sistem pendidikannya namun mental dan pandangan jamahnya juga perlu diperbaiki.

Lahirnya PPG (Penggerak Pembina Generasi Penerus) dalam dua tahun terakhir merupakan terbitnya secercah sinar harapan. Walaupun agak terlambat namun sangat melegakan karena menjawab angan-angan yang lama saya pendam. Seperti kata pepatah "lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali". Kondisi LDII di kemudian hari sangat tergantung dari sukses pembinaan generus hari ini. Sukses PPG adalah jaminan eksistensi Lembaga Dakwah Islam Indonesia pada masa mendatang. Di tengah krisis moral dan kepercayaan yang semakin berkembang di negeri ini, LDII akan menjadi gudang sumberdaya pilihan. Dari dalam Ormas Islam yang matang digembleng berbagai cobaan ini, diharapkan lahir figur-figur tauladan yang jujur, amanat dan berani menegakkan kebenaran.

Karenanya tidak ada alasan bagi setiap komponen LDII untuk tidak mensukseskan program PPG. Sebab kegagalan PPG adalah cermin buram pengembangan dakwah masa depan. Kegagalan membina generasi muda berarti juga merosotnya ajaran Quran Hadist dan ancaman terhadap kelestarian agama Allah. Tanpa hidayah Allah berupa agama Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah manusia akan jatuh martabatnya sebagai makhluk ciptaan Allah paling mulia. Hilangnya hidayah Allah berarti menjerumuskan manusia pada kenistaan paling dalam dimana segala sesuatu dinilai atas materi dan logika tanpa pertimbangan keimanan. Tanpa agama Islam manusia akan tersesat pada kehidupan liberal dan materialistik yang menghilangkan nilai-nilai halal atau haram, dosa atau pahala, surga atau neraka. Sebagaimana pepatah Jawa: "Bal gedubal, mbuh kadal opo bantal angger kolu yo diuntal".

Umat yang tidak lagi berpegang teguh pada agama Allah yang haq berdasarkan Kitabillah dan Sunah Nabi akan terseret dalam siksa neraka jahannam yang mengerikan.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)
Dan niscaya sungguh-sungguh Aku penuhi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagaimana binatang, bahkan mereka lebih hina lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
[Al-Quran surat Al-'Arof ayat 179]

ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا (106)
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai permainan.
[Al-Quran surat Al-'Kahfi ayat 106]

Bila dilihat materinya, kesuksesan PPG-pun sebenarnya baru prasarat dasar untuk membentuk anak sholih. Kalau benar-benar berjalan efektif sebenarnya Program PPG juga belum bisa membuat anak didik menjadi alim dan belum bisa menjawab tantangan jaman. Untuk menjadikan anak alim harus banyak mengajinya dengan meninggalkan aktivitas yang sia-sia. Dengan kapasitas pengajian di kelompok seminggu dua kali atau maksimal empat jam dalam satu minggu tidak mungkin menjadikan anak alim atau banyak ilmunya. Mencetak anak didik yang alim hanya bisa dilakukan di Pondok Pesantren. Semoga PPG dapat menjadi motor pendorong sebanyak-banyaknya generasi muda untuk tidak enggan lagi melanjutkan pendidikannya di Pondok.

Dengan latarbelakang kompetisi usaha yang semakin ketat, pergaulan bebas yang tidak terkendali, maka model pendidikan Pondok Gadingmangu dan Budi Utomo-lah yang menurut saya paling ideal untuk jamaah saat ini. Hanya dua institusi itulah yang bisa memberikan ijasah sekolah umum dan ijasah kemubalighan secara bersamaan. Para anak didik dapat mengenyam pendidikan agama secara maksimal tanpa harus meninggalkan bangku sekolah. Tercatat beberapa profesional di perushaan-perusahaan ternama dan beberapa perwira muda di kesatuan TNI adalah mubaligh lulusan Pondok Gadingmangu. Sekali lagi saya hanya bisa  berharap-harap, kelak LDII akan mengembangkan Pondok Pesantrennya menjadi lembaga pendidikan terpadu dunia dan akherat. Menjadi Gadingmangu-gadingmangu baru.

Dari sisi pembinaan generasi penerus ini juga bisa dilihat bahwa militansi dan kefahaman agama seorang jamaah tidak bisa dilihat dari dapukannya, apakah dia mubaligh, pengurus atau jamaah biasa. Tapi seberapa rela ia menyerahkan dirinya, hartanya dan keluarganya untuk pengembangan dakwah di jalan Allah. Dan tidak ada kebanggaan yang lebih utama dari pada menyaksikan anak-anak turut andil berjuang menyebarkan kefahaman Islam berdasarkan Kitabillah dan Sunah Rasulullah SAW. Bagaikan melihat anak-anak bertempur di medan perang menegakkan Kalimat Allah, pulang sebagai pahlawan atau mati sebagai syuhada'.

PPG, Cermin Masa Depan LDII

ditulis oleh : Budi Waluyo, ST*
LDII sudah lama menetapkan target pembinaan generasi penerus yang saya ingat waktu itu ada 4 yaitu membentuk generasi yang:
  1. alim (banyak ilmu agamanya)
  2. fakih beribadah
  3. berakhlakul karimah
  4. bisa hidup mandiri
Namun entah kenapa saat ini target pembinaan generasi penerus tersebut diringkas menjadi tiga saja. Begitu juga dengan lima unsur pembina generus, sebelum tahun 1990 juga sudah dirumuskan. Namun sejauh itu pula saya adalah orang yang termasuk skeptis terhadap sistem pendidikan dalam LDII. Betapa tidak, waktu itu seorang mubaligh yang bertugas di kelompok selalu datang dengan tangan kosong tanpa dibekali pedoman dalam mengajar, terutama terhadap pendidikan anak-anak / caberawit dan remaja. Begitu ganti mubaligh ganti juga acara. Seolah-olah pengajaran caberawit hanya ditujukan asal bisa baca tulis Arab sehingga waktu dewasa bisa menterjemahkan Al-Quran atau Al-Hadist. Itu saja. Waktu itu di Surabaya juga sudah saya dengar perdebatan antara para guru dan dosen bahwa akan dibentuknya kurikulum pendidikan caberawit dan remaja di lingkungan LDII

Sebagai jamaah biasa yang tidak punya akses ke pusat dan tidak punya latar belakang pendidikan keguruan, selama itu pula saya hanya bisa berharap-harap tanpa bisa berbuat apapun. Sehingga dalam masalah pendidikan anak, saya pilih "save" saja tidak mau ambil resiko, begitu anak saya lulus SD langsung saya kirim ke Pondok Gadingmangu sekaligus sekolah di SMP Budi Utomo. Alhamdulillah dua anak saya sudah lulus mubaligh sebelum mendapatkan ijasah SMP. Bahkan anak kedua saya sekarang masih bertugas sebagai mubalig LDII di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara.

Yang agak mengejutkan, ketika pertama kali saya memondokkan anak saya pada tahun 2.000, yang waktu itu Pondok Gading mangu 2 diketuai oleh almarhum Bapak Arman dan baru masuk angkatan kedua, salah seorang saudara saya yang juga mubaligh lawas berkomentar,"Wong anak nggak nakal dan nilainya bagus kok dipondokkan!. Deg!, tentu saja saya kaget setengah mati bahwa seorang mubalegh tulen yang pernah diajar langsung oleh Haji Nurhasan ternyata berpandangan seperti itu terhadap institusi pendidikan agama di lembaga yang lama dibelanya. Sejak saat itulah saya menjadi tahu bagaimana pandangan jamaah secara umum terhadap pendidikan pondok. Sepertinya pondok adalah lembaga buangan bagi anak-anak nakal, terbelakang yang tidak berprestasi. Dan ndilalah, dari empat anak saudara saya tersebut tidak satupun yang menjadi mubaligh atau mubalighot. Jadi LDII ini sebenarnya bukan hanya buruk sistem pendidikannya namun mental dan pandangan jamahnya juga perlu diperbaiki.

Lahirnya PPG (Penggerak Pembina Generasi Penerus) dalam dua tahun terakhir merupakan terbitnya secercah sinar harapan. Walaupun agak terlambat namun sangat melegakan karena menjawab angan-angan yang lama saya pendam. Seperti kata pepatah "lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali". Kondisi LDII di kemudian hari sangat tergantung dari sukses pembinaan generus hari ini. Sukses PPG adalah jaminan eksistensi Lembaga Dakwah Islam Indonesia pada masa mendatang. Di tengah krisis moral dan kepercayaan yang semakin berkembang di negeri ini, LDII akan menjadi gudang sumberdaya pilihan. Dari dalam Ormas Islam yang matang digembleng berbagai cobaan ini, diharapkan lahir figur-figur tauladan yang jujur, amanat dan berani menegakkan kebenaran.

Karenanya tidak ada alasan bagi setiap komponen LDII untuk tidak mensukseskan program PPG. Sebab kegagalan PPG adalah cermin buram pengembangan dakwah masa depan. Kegagalan membina generasi muda berarti juga merosotnya ajaran Quran Hadist dan ancaman terhadap kelestarian agama Allah. Tanpa hidayah Allah berupa agama Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah manusia akan jatuh martabatnya sebagai makhluk ciptaan Allah paling mulia. Hilangnya hidayah Allah berarti menjerumuskan manusia pada kenistaan paling dalam dimana segala sesuatu dinilai atas materi dan logika tanpa pertimbangan keimanan. Tanpa agama Islam manusia akan tersesat pada kehidupan liberal dan materialistik yang menghilangkan nilai-nilai halal atau haram, dosa atau pahala, surga atau neraka. Sebagaimana pepatah Jawa: "Bal gedubal, mbuh kadal opo bantal angger kolu yo diuntal".

Umat yang tidak lagi berpegang teguh pada agama Allah yang haq berdasarkan Kitabillah dan Sunah Nabi akan terseret dalam siksa neraka jahannam yang mengerikan.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)
Dan niscaya sungguh-sungguh Aku penuhi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagaimana binatang, bahkan mereka lebih hina lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
[Al-Quran surat Al-'Arof ayat 179]

ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا (106)
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai permainan.
[Al-Quran surat Al-'Kahfi ayat 106]

Bila dilihat materinya, kesuksesan PPG-pun sebenarnya baru prasarat dasar untuk membentuk anak sholih. Kalau benar-benar berjalan efektif sebenarnya Program PPG juga belum bisa membuat anak didik menjadi alim dan belum bisa menjawab tantangan jaman. Untuk menjadikan anak alim harus banyak mengajinya dengan meninggalkan aktivitas yang sia-sia. Dengan kapasitas pengajian di kelompok seminggu dua kali atau maksimal empat jam dalam satu minggu tidak mungkin menjadikan anak alim atau banyak ilmunya. Mencetak anak didik yang alim hanya bisa dilakukan di Pondok Pesantren. Semoga PPG dapat menjadi motor pendorong sebanyak-banyaknya generasi muda untuk tidak enggan lagi melanjutkan pendidikannya di Pondok.

Dengan latarbelakang kompetisi usaha yang semakin ketat, pergaulan bebas yang tidak terkendali, maka model pendidikan Pondok Gadingmangu dan Budi Utomo-lah yang menurut saya paling ideal untuk jamaah saat ini. Hanya dua institusi itulah yang bisa memberikan ijasah sekolah umum dan ijasah kemubalighan secara bersamaan. Para anak didik dapat mengenyam pendidikan agama secara maksimal tanpa harus meninggalkan bangku sekolah. Tercatat beberapa profesional di perushaan-perusahaan ternama dan beberapa perwira muda di kesatuan TNI adalah mubaligh lulusan Pondok Gadingmangu. Sekali lagi saya hanya bisa  berharap-harap, kelak LDII akan mengembangkan Pondok Pesantrennya menjadi lembaga pendidikan terpadu dunia dan akherat. Menjadi Gadingmangu-gadingmangu baru.

Dari sisi pembinaan generasi penerus ini juga bisa dilihat bahwa militansi dan kefahaman agama seorang jamaah tidak bisa dilihat dari dapukannya, apakah dia mubaligh, pengurus atau jamaah biasa. Tapi seberapa rela ia menyerahkan dirinya, hartanya dan keluarganya untuk pengembangan dakwah di jalan Allah. Dan tidak ada kebanggaan yang lebih utama dari pada menyaksikan anak-anak turut andil berjuang menyebarkan kefahaman Islam berdasarkan Kitabillah dan Sunah Rasulullah SAW. Bagaikan melihat anak-anak bertempur di medan perang menegakkan Kalimat Allah, pulang sebagai pahlawan atau mati sebagai syuhada'.