Motto

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ* القران سورة آل عمران ١٠٤
“Dan jadilah kamu sekalian bagian dari umat yang menyerukan kebajikan dan mengajak yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung [Quran Surat Ali Imron, ayat 104]

News

Kamis, 05 Februari 2015

Nilai Strategis Konggres Umat Islam Indonesia ke 6

LDIISIdoarjo | Jakarta - Focus Group Discussion (FGD) digelar oleh DPP LDII (5/2/15) di Jakarta dengan tema “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Budaya Indonesia sebagai Sebuah Manifestasi Komitmen Umat Islam Terhadap NKRI yang Berdasarkan Pancasila”.
FGD ini untuk merumuskan berbagai persoalan dan solusi, yang akan disampaikan dalam KUII ke-6 dan dalam rangka partisipasi aktif dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 yang akan diselenggarakan di Yogyakarta, pada 8-11 Februari 2015.  Karena bagi LDII, KUII ke-6 memiliki nilai yang sangat strategis, bagi bangsa Indonesia sendiri maupun internasional. 
Pada FGD ini LDII mengundang KH Adnan Harahap Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Pusat, Ust. Asrori S Karni dari Komisi Media dan Komunikasi MUI Pusat, Ust. Iing Solihin dari MUI Pusat, dan Ketua Bahtsul Masail KH Arwani Feisol sebagai pembicara.
 

Menurut Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo, umat Islam Indonesia menghadapi persoalan yang barat di paruh pertama abad 21. Tantangan ekonomi global dalam rupa pasar bebas, tak dapat diantisipasi dengan baik oleh umat Islam dunia, termasuk Indonesia. Human Development Index (HDI) 2014, menempatkan Brunei Darussalam pada peringkat 30 dan Arab Saudi pada peringkat 33 negara paling makmur di dunia. Sementara 10 negara termakmur di dunia menurut HDI 2014, bukanlah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.  1) Selain itu, 10 negara termakmur tersebut tak memiliki sumberdaya alam memadai. Mereka mengandalkan kemampuan rekayasa teknologi dan industri kreatif. Hal ini berbeda dengan Brunei Darussalam dan Arab Saudi yang memiliki sumberdaya alam melimpah. Kemakmuran dua negara tersebut lebih mengandalkan sumberdaya alam dibanding Iptek.

“Problema bangsa Indonesia, sebagaimana negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam adalah kemiskinan dan ketertinggalam pembangunan. Indonesia sendiri dalam rangking HDI 2014, berada di urutan 108,” ujar Prasetyo Soenaryo. Di sisi lain, menurut Prasetyo, umat Islam menghadapi pula persoalan internal yang juga tak kunjung selesai. Dominasi superordinat dalam struktur sosial mendorong adanya politik penyeragaman yang mengikis karakter Indonesia sebagai bangsa pejuang, memudarkan solidaritas, dan gotong royong, serta meminggirkan kebudayaan lokal. “Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi,” imbuh Prasetyo Soenaryo. Sementara itu negara seperti tidak hadir dalam menghormati dan mengelola keragaman dan perbedaan yang menjadi karakter Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. 

LDII mengingatkan sikap yang tidak bersedia untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas yang beragam, telah melahirkan ekspresi intoleransi dalam bentuk kebencian, permusuhan, diskriminasi, dan tindakan kekerasan terhadapa “”yang berbeda” (the other/liyan). Kegagalan pengelolaan keberagaman terkait pula oleh ketidakadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya nasional yang memperuncing kesenjangan sosial. Pada saat yang sama umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia dihadapkan pada kemajuan teknologi informasi dan transportasi, yang melahirkan dunia tanpa batas (borderless state) yang menciptakan gegar budaya atau shock culture yang memicu terjadinya budaya massa (masifikasi) atau ketunggalan identitas global.

“Konsekuensinya, bangsa Indonesia berada di tengah pertarungan antara dua arus kebudayaan, yang didorong oleh kekuatan pasar yang menempatkan manusia sebagai komoditas semata. Di sisi lain, muncul arus kebudayaan yang menekankan penguatan identitas primodial di tengah derasnya arus globalisasi,” ujar Prasetyo Soenaryo. Akumulasi dari kegagalan mengelola dampak persilangan dua arus kebudayaan tersebut menjadi ancaman bagi pembangunan karakter bangsa.

Peningkatan Kualitas SDM Indonesia
Untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam di Indonesia, LDII memandang peningkatan kualitas SDM Indonesia sangat penting, dalam KUII ke-6. Peningkatan kualitas SDM umat Islam harus mengacu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, yakni peningkatan kapasitas SDM, peningkatan efisiensi dan nilai tambah Sumber Daya Alam, dan penguatan kapasitan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyediaan infrastruktur yang terpadu dan merata, serta penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik. LDII memandang KUII ke-6 dapat menjadi momentum kebangkitan umat Islam untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing bangsa Indonesia, dengan cara meningkatkan kualitas SDM.

Namun LDII juga mengingatkan, peningkatan kualitas SDM itu diiringi pula dengan peningkatan kualitas iman dan taqwa. Sehingga tak melahirkan generasi atau profesional yang justru merendahkan harkat martabat umat Islam, karena egoisme, korupsi, dan prilaku yang jauh dari nilai-nilai luhur agama Islam. LDII mengharapkan peningkatan kualitas SDM Indonesia mengacu kepada profesional religius, yang dalam praktiknya, keprofesionalan seseorang karena sifat melekat sebab dirinya kompeten dan kapabel di bidangnya, sekaligus memiliki sifat yang religius sebagai umat Islam, yang mengendepankan enam tabiat luhur yaitu jujur, amanah, muzhid mujhid (hemat dan bekerja keras), rukun, kompak, dan kerja sama yang baik. (sumber: ldii.or.id)

Nilai Strategis Konggres Umat Islam Indonesia ke 6

LDIISIdoarjo | Jakarta - Focus Group Discussion (FGD) digelar oleh DPP LDII (5/2/15) di Jakarta dengan tema “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Budaya Indonesia sebagai Sebuah Manifestasi Komitmen Umat Islam Terhadap NKRI yang Berdasarkan Pancasila”.
FGD ini untuk merumuskan berbagai persoalan dan solusi, yang akan disampaikan dalam KUII ke-6 dan dalam rangka partisipasi aktif dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 yang akan diselenggarakan di Yogyakarta, pada 8-11 Februari 2015.  Karena bagi LDII, KUII ke-6 memiliki nilai yang sangat strategis, bagi bangsa Indonesia sendiri maupun internasional. 
Pada FGD ini LDII mengundang KH Adnan Harahap Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Pusat, Ust. Asrori S Karni dari Komisi Media dan Komunikasi MUI Pusat, Ust. Iing Solihin dari MUI Pusat, dan Ketua Bahtsul Masail KH Arwani Feisol sebagai pembicara.
 

Menurut Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo, umat Islam Indonesia menghadapi persoalan yang barat di paruh pertama abad 21. Tantangan ekonomi global dalam rupa pasar bebas, tak dapat diantisipasi dengan baik oleh umat Islam dunia, termasuk Indonesia. Human Development Index (HDI) 2014, menempatkan Brunei Darussalam pada peringkat 30 dan Arab Saudi pada peringkat 33 negara paling makmur di dunia. Sementara 10 negara termakmur di dunia menurut HDI 2014, bukanlah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.  1) Selain itu, 10 negara termakmur tersebut tak memiliki sumberdaya alam memadai. Mereka mengandalkan kemampuan rekayasa teknologi dan industri kreatif. Hal ini berbeda dengan Brunei Darussalam dan Arab Saudi yang memiliki sumberdaya alam melimpah. Kemakmuran dua negara tersebut lebih mengandalkan sumberdaya alam dibanding Iptek.

“Problema bangsa Indonesia, sebagaimana negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam adalah kemiskinan dan ketertinggalam pembangunan. Indonesia sendiri dalam rangking HDI 2014, berada di urutan 108,” ujar Prasetyo Soenaryo. Di sisi lain, menurut Prasetyo, umat Islam menghadapi pula persoalan internal yang juga tak kunjung selesai. Dominasi superordinat dalam struktur sosial mendorong adanya politik penyeragaman yang mengikis karakter Indonesia sebagai bangsa pejuang, memudarkan solidaritas, dan gotong royong, serta meminggirkan kebudayaan lokal. “Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi,” imbuh Prasetyo Soenaryo. Sementara itu negara seperti tidak hadir dalam menghormati dan mengelola keragaman dan perbedaan yang menjadi karakter Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. 

LDII mengingatkan sikap yang tidak bersedia untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas yang beragam, telah melahirkan ekspresi intoleransi dalam bentuk kebencian, permusuhan, diskriminasi, dan tindakan kekerasan terhadapa “”yang berbeda” (the other/liyan). Kegagalan pengelolaan keberagaman terkait pula oleh ketidakadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya nasional yang memperuncing kesenjangan sosial. Pada saat yang sama umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia dihadapkan pada kemajuan teknologi informasi dan transportasi, yang melahirkan dunia tanpa batas (borderless state) yang menciptakan gegar budaya atau shock culture yang memicu terjadinya budaya massa (masifikasi) atau ketunggalan identitas global.

“Konsekuensinya, bangsa Indonesia berada di tengah pertarungan antara dua arus kebudayaan, yang didorong oleh kekuatan pasar yang menempatkan manusia sebagai komoditas semata. Di sisi lain, muncul arus kebudayaan yang menekankan penguatan identitas primodial di tengah derasnya arus globalisasi,” ujar Prasetyo Soenaryo. Akumulasi dari kegagalan mengelola dampak persilangan dua arus kebudayaan tersebut menjadi ancaman bagi pembangunan karakter bangsa.

Peningkatan Kualitas SDM Indonesia
Untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam di Indonesia, LDII memandang peningkatan kualitas SDM Indonesia sangat penting, dalam KUII ke-6. Peningkatan kualitas SDM umat Islam harus mengacu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, yakni peningkatan kapasitas SDM, peningkatan efisiensi dan nilai tambah Sumber Daya Alam, dan penguatan kapasitan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyediaan infrastruktur yang terpadu dan merata, serta penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik. LDII memandang KUII ke-6 dapat menjadi momentum kebangkitan umat Islam untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing bangsa Indonesia, dengan cara meningkatkan kualitas SDM.

Namun LDII juga mengingatkan, peningkatan kualitas SDM itu diiringi pula dengan peningkatan kualitas iman dan taqwa. Sehingga tak melahirkan generasi atau profesional yang justru merendahkan harkat martabat umat Islam, karena egoisme, korupsi, dan prilaku yang jauh dari nilai-nilai luhur agama Islam. LDII mengharapkan peningkatan kualitas SDM Indonesia mengacu kepada profesional religius, yang dalam praktiknya, keprofesionalan seseorang karena sifat melekat sebab dirinya kompeten dan kapabel di bidangnya, sekaligus memiliki sifat yang religius sebagai umat Islam, yang mengendepankan enam tabiat luhur yaitu jujur, amanah, muzhid mujhid (hemat dan bekerja keras), rukun, kompak, dan kerja sama yang baik. (sumber: ldii.or.id)